Selasa, 13 November 2007

POTENSI, ISU DAN PERMASALAHAN PULAU-PULAU KECIL DI PROVINSI MALUKU

Oleh :
JAMES ABRAHAMSZ



Provinsi Maluku disebut-sebut sebagai Provinsi Kepulauan dengan luas wilayah 712.480 km², terdiri dari 92,4 % luas perairan (658.295 km²) dan 7,6 % luas daratan (54.185 km²). Pulau-pulau besar hanya empat buah masing-masing : Pulau Seram dengan luas 18.625 km2, pulau Buru dengan luas 9.000 km2, Pulau Yamdena dengan luas 5.085 km2, dan Pulau Wetar dengan luas 3.624 km2. Hal ini membuktikan bahwa sekitar 32,94 % luas daratan merupakan total luasan 1426 pulau kecil yang ada di Provinsi ini. Dari 1430 buah pulau di Provinsi Maluku, secara fisik terdapat potensi garis pantai 11.098,34 Km.


Eksistensi pulau-pulau kecil di Provinsi Maluku memberikan konsekuensi pada beragamnya kondisi ekonomi wilayah. Kecenderungan aglomerasi ekonomi yang terbentuk pada pusat pengembangan dan daerah sekitarnya menciptakan disparitas yang lebar dengan wilayah yang jauh dari pusat, terutama pada kawasan pulau-pulau kecil yang umumnya memiliki akses yang lemah ke setiap pusat. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan kapasitas setiap kawasan, bukan hanya aspek ekonomi kawasan tetapi juga pada aspek sosio budaya dan sosio politik yang mendukung proses pengambilan keputusan di tingkat kawasan.


Di sisi lain eksistensi pulau-pulau kecil di Maluku sebenarnya memiliki kapasitas yang kuat dari aspek ketersediaan sumberdaya hayati pesisir dan lautnya. Tinggi dan beragamnya potensi sumberdaya hayati pesisir dan laut ini tidak serta merta mendukung dinamika pembangunan di setiap kawasan. Kondisi ini terbentuk karena lemahnya dukungan sistem kelembagaan di tingkat daerah, kapasitas pemanfaatan dan pengelolaan yang lemah, juga tidak didukung dengan kebijakan dan kapasitas wilayah untuk melakukan ekspansi dalam pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir dan laut, serta kurangnya dukungan sistem dan regulasi di tingkat daerah.


Konsekuensi fisikal pulau-pulau kecil yang rentan terhadap ancaman aktivitas manusia dan potensi kerusakan secara alami serta tekanan aktivitas pembangunan di darat menjadi catatan penting bagi upaya penyelamatan lingkungan pulau-pulau kecil. Upaya peningkatan kapasitas kawasan pulau-pulau kecil dan upaya penyelamatannya membutuhkan strategi pemanfaatan dan pengelolaan yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi wilayah secara agregat dan keberlanjutan pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil.


Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pulau-pulau kecil di Maluku ternyata harus dibijaki dengan memulai upaya-upaya yang disebutkan di atas. Situasi kondisional inilah yang menjadi dasar dari pengembangan tulisan ini. Untuk kepentingan itu, maka tulisan ini dititikberatkan pada gambaran potensi, identifikasi isu dan permasalahan pada pulau-pulau kecil di Maluku serta strategi pemanfaatan berorientasi ekonomi masyarakat/ wilayah dan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.



POTENSI SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

Sumberdaya Bernilai Ekonomis (Tinggi)

a. Sumberdaya Ikan

Gambaran potensi sumberdaya ikan berikut ini akan dipaparkan secara kewilayahan, meliputi ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan ikan karang/hias. Walaupun paparan ini tidak meliputi seluruh kabupaten/kota di Maluku, paling tidak gambaran potensi ini memberikan justfikasi kuat tentang potensi pengembangan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil di Porvinsi Maluku.

Kota Ambon :
Ikan Pelagis Kecil : MSY = 2352 ton/tahun
Ikan Pelagis Besar : bad
Ikan Demersal : MSY = 284,676 ton
Ikan Karang/Hias : ada di saya


Kabupaten Buru :
Ikan Pelagis Kecil : MSY = 2.530,31 ton/tahun
Ikan Pelagis Besar : MSY = 2.091,85 ton/tahun
Ikan Demersal : MSY = 965,08 ton/tahun
Ikan Karang/Hias : ada di saya


Kabupaten Maluku Tengah :
Ikan Pelagis Kecil : MSY = 5.384,32 ton
Ikan Pelagis Besar : MSY 2.192,78 ton
Ikan Demersal : MSY = 1.762,08 ton
Ikan Karang/Hias :


Kabupaten Seram Bagian Barat
Ikan Pelagis Kecil : MSY = 2.781,35 ton
Ikan Pelagis Besar : MSY = ---
Ikan Demersal : MSY = 1.310,02 ton
Ikan Karang/Hias :


Kabupaten Seram Bagian Timur
Ikan Pelagis Kecil : MSY = 2.561,77 ton/tahun
Ikan Pelagis Besar : MSY = 1.740,59 ton/tahun
Ikan Demersal : MSY = 3.665,03 ton/tahun
Ikan Karang/Hias :


c. Ekowisata Bahari

Gambaran potensi wisata diberikan sesuai dengan distribusi kawasan wisata bahari baik yang sementara dikembangkan maupun yang direncanakan secara keruangan. Secara spasial distribusi kawasan wisata bahari di Maluku bervariasi sesuai potensi wilayahnya. Pengembangan wisata bahari tidak lepas dari pengembangan wisata pantai pada kawasan pulau-pulau kecil dengan potensi pantai pasir putih.


Potensi lain seperti kawasan terumbu karang yang mendukung wisata selam sekaligus dapat dikembangkan wisata ilmiah karena temuan-temuan karakteristik wilayah yang agak berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Disamping itu, kawasan terumbu di sekitar pulau-pulau kecil juga berpotensi untuk mengembangkan wisata pancing. Kawasan potensial lain seperti hutan mangrove yang berpotensi untuk mengembangkan kawasan ekowisata bila diintegrasikan dengan upaya pengembangan kawasan konservasi di kawasan ini.


Di sisi lain potensi budaya masyarakat lokal di pulau-pulau kecil yang dapat dipaketkan dengan wisata lingkungan sebagaimana disebutkan di atas. Pada bagian berikut diberikan gambaran rencana pengembangan ekowisata bahari pada wilayah kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tenggara.


c. Energi Alternatif
Secara spasial, distribusi kawasan yang dapat dimanfaatkan basis pengembangan energi alternatif banyak ditemukan di Maluku, baik dengan menggunakan energi arus, ombak maupun energi laut dalam, antara lain :

Ambon : Teluk Ambon, Pantai Selatan dan Teluk Baguala

Buru : Teluk Kayeli, Buru Utara Barat, Buru Selatan, Buru Barat dan Buru Timur

Maluku Tengah : Selat Haruku, Selat Komuhatanyo, Tanjung Koako dan Tehoru :

Seram Bagian Barat : Teluk Piru, Selat Sole, Selat Buano, dan Pantai Utara Taniwel

Seram Bagian Timur : Kepulauan Watubela, Kepulauan Gorom, Geser dan sekitarnya,
Pantai Selatan Werinama, Pantai Utara dan Timur Bula

Maluku Tenggara : Selat Nerong, Kei Besar Timur, PP. Dullah, Kei kecil Selatan dan
Kei Kecil Barat.

Kepulauan Aru : Aru Timur, Aru Selatan, Perairan Selat Antara PP. Aru, Aru Tengah dan
Aru Selatan.

Maluku Tenggara Barat : Pantai Timur Yamdena, Pantai Barat Yamdena, Perairan Pulau-
Pulau Terselatan dan Wetar.


Sumberdaya Bernilai Ekologis

Gambaran tentang sumberdaya bernilai ekologis diarahkan berbasis ekosistem, yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, lagoon dan biota laut yang dilindungi. Gambaran tentang nilai ekologis sumberdaya ini menitikberatkan pada fungsi dari masing-masing ekosistem.


Hutan mangrove yang secara otomatis dikelompokan dalam kawasan konservasi, perlindungan padang lamun sebagai areal makan duyung, dan terumbu karang dengan fungsi ekologis yang lengkap. Interaksi antar ketiga eksosistem utama ini menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang paling kaya. Lagoon sebagai salah satu ekosostem potensial yang dapat mendukung kegiatan pemanfaatan melalui perikanan tangkap, budidaya maupun diarahkan untuk kepentingan konservasi.



ISU DAN PERMASALAHAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL


a. Isu dan Permasalahan Penggunaan Lahan

Isu penting yang berkaitan dengan penggunaan lahan existing antara lain :
· Lahan pesisir yang cukup luas dan memiliki daya dukung untuk pengembangan perikanan
ikan dan ekowisata bahari.
· Tingkat pemanfataan wilayah perairan untuk pengembangan perikanan tangkap masih
rendah.
· Masih ada kegiatan pengambilan pasir, batu karang, pemboman atau meracuni ikan dengan
potasium sianida di kawasan perairan karang.


b. Isu dan Permasalahan Geomorfologi dan Geologi

Isu-isu geomorfologi dan geologi yang penting dicermati antara lain :
· Hamparan pulau-pulau kecil dengan relief yang rendah diperhadapkan dengan proses
degradasi lahan daratan pulau oleh aksi gelombang, arus dan angin terjadi secara kontinu.
· Pantai berpasir putih yang berpotensi sebagai kawasan wisata pantai, disamping distribusi
beberapa danau air asing, disamping keunikan pola arus pasang surut dan dsitribusi terumbu
karang yang berpotensi sebagai kawasan wisata ilmiah.
· Titik episentrum gempa tektonik dangkal sampai dalam menjadi penting diperhatikan untuk
menghindari resiko gelombang pasang.


c. Isu dan Permasalahan Oseanografi

Isu-isu penting bidang oseanografi yang dapat dirumuskan berdasarkan rangkaian informasi dikompilasi antara lain :

· Bahwa keseluruhan nilai parameter oseanografi baik fisik maupun kimia masih berada dalam kisaran ambang batas baku mutu lingkungan yang dipersyaratkan untuk berbagai tujuan pengembangan perikanan ikan pelagis kecil maupun besar, pengembangan budidaya berbagai jenis sumberdaya ikan dan non ikan, pengembangan pariwisata bahari, dan konservasi sumberdaya laut.

· Letak perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berhadapan langsung dengan perairan dalam, cenderung mendapat tekanan dari faktor lingkungan baik dari cuaca, maupun dari faktor air laut. Semakin kuat dan lamanya tekanan angin akan menyebabkan konsentrasi energi gelombang tipe plunging mendominasi pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku. Ini berarti kestabilan pantai secara musiman terancam hantaman gelombang pecah tersebut.

· Luasan wilayah kelola 0 – 4 mil dan 4 – 12 mil sangat menjanjikan bagi upaya pengembangan perikanan berskala kecil maupun skala besar. Disamping itu adanya dukungan massa airnya secara musiman mengalami pemupukan akibat kejadian upwelling dalam musim timur di laut Banda sehingga tetap subur dan menjadi terminal gerombolan ikan pelagis kecil maupun besar.

· Beberapa lokasi selat menjadi penting untuk diperhatikan sehubungan dengan pengembangan energi konvensional yang memanfaatkan potensi arus pasang surut sebagai energi kinetik. Pemanfaatan energi ini sebagai pembangkit tenaga listrik untuk skala pulau-pulau kecil. Pengembangan energi konvensional ini juga sangat diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan teknologi pengolahan hasil perikanan di tingkat pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir.


d. Isu dan Permasalahan Pemanfaatan Ekosistem Utama

· Pemanfaatan kayu bakau untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar dan bahan bangun terus dilakukan hampir di semua wilayah. Padahal masyarakat pengguna kayu bakau juga tergantung secara ekonomi terhadap sumberdaya yang berasosiasi di hutan mangrove. Secara faktual, masyarakat pengguna ini telah merasakan adanya penurunan potensi sumberdaya di dalam hutan bakau, disamping dampak fisik seperti abrasi dan degradasi garis pantai.
· Pada pulau-pulau kecil yang dekat dengan pusat pengembangan terus dilakukan pengembangan kawasan pantai melalui reklamasi yang cenderung memanfaatkan areal pasang surut yang meliputi padang lamun. Tekanan ini juga terjadi karena adanya bukaan lahan atas untuk kepentingan pengembangan pemukiman dengan ikutan siltasi dalam konsentrasi yang tinggi.
· Penangkapan ikan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan masih dilakukan di seluruh wilayah di Maluku. Tidak hanya itu, penambangan batu karang masih terus dilakukan hampir di seluruh wilayah.


e. Isu dan Permasalahan Penangkapan Ikan dan Budidaya Perairan

· Masih banyak masyarakat pulau kecil yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan teknologi yang sangat tradisional sehingga kapasitas produksi masih tetap rendah.

· Hasil produksi perikanan tangkap masih banyak yang harus dibuang percuma karena kapasitas masyarakat yang lemah dalam penanganan produksi, terutama pada musim-musim penangkapan ikan.

· Budaya pemanfaatan sumberdaya dengan cara berburu menyebabkan masyarakat lokal belum maksimal untuk menjalankan kegiatan-kegiatan budidaya perairan. Keberhasilan budidaya perairan umumnya pada masyarakat pendatang atau pada skala usaha yang padat modal.


f. Isu dan Permasalahan Konservasi

· Banyak kearifan lokal dalam konservasi sumberdaya hayati pesisir dan laut telah terkikis, akibat sistem kelembagaan yang tidak lagi berbasis adat dan orientasi ekonomi secara berlebihan.

· Pemanfaatan sumberdaya yang dilindungi untuk tujuan ekonomi memberikan konsekuensi pada pelanggaran-pelanggaran pada kawasan konservasi yang sudah ditetapkan.

· Minimnya rumusan regulasi yang mendukung pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, terutama dalam mempertahankan kawasan-kawasan konservasi yang telah ditetapkan dalam rencana umum tata ruang wilayah maupun tata ruang wilayah pesisir dan laut.


g. Isu dan Permasalahan Pengembangan Ekowisata Bahari

· Kesiapan masyarakat secara sosial yang masih relatif kurang terbuka dalam proses pengembangan ekowisata.

· Lemahnya kapasitas wilayah pesisir dan kawasan pulau-pulau kecil untuk mengakomodasi perkembangan ekowisata bahari karena keterbatasan infrastruktur pendukung.

· Kurangnya tindakan promosi untuk memperkenalkan kawasan-kawasan potensial ekowisata bahari yang terdistribusi di setiap wilayah, disamping untuk menarik investasi di bidang ekowisata bahari.


h. Isu dan Permasalahan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil

· Kapasitas ekonomi yang lemah menyebabkan upaya investasi di tingkat masyarakat tidak jalan.

· Akses antar wilayah yang lemah menyebabkan tidak bergeraknya ekonomi pasar dan rendahnya kapasitas penarikan investasi ke dalam wilayah.

· Minimnya ketersediaan infrastruktur ekonomi yang mendukung distribusi hasil produksi, penanganan kualitas produksi dan dukungan modal usaha bagi masyarakat.


i. Isu dan Permasalahan Kelembagaan Lokal dan Daerah

· Sistem dan manajemen kelembagaan lokal yang lemah dan tidak fleksibel terhadap tuntutan perubahan di satu sisi dan upaya memepertahankan kearfian lokal di lain sisi.

· Pengelolaan pulau kecil tidak hanya menjadi tanggungjawab dinas perikanan dan kelautan sehingga kebutuhan terhadap integrasi kelembagaan menjadi penting untuk pengembangan kawasan pulau-pulau kecil. Namun ini belum terakomodasi dengan baik, mulai dari proses perencanaan, impelementasi pembangunan sampai dengan pengawasan dan evaluasi.



ANALISIS PENGEMBANGAN PULAU-PULAU KECIL; KASUS KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT


Analisis pengembangan potensi eksisting ini masih terbatas pada perikanan pelagis, perikanan demersal dan perikanan ikan karang dan ikan hias. Paling tidak ini menjadi contoh awal analisis pengembangan yang dapat dikembangkan lebih jauh untuk potensi sumberdaya lainnya.


Hasil analisis menunjukkan bahwa secara spasial terjadi perbedaan spesifikasi potensi pengembangan sumberdaya perikanan dan penekanan orientasi pengembangannya. Secara agregat, Wuarlabobar dan Mdona Hiera memiliki potensi yang kuat untuk perikanan pelagis dan demersal. Hal ini sesuai dengan potensi sumberdaya perikanan yang ada dan potensi sarana penangkapan yang dimiliki. Wetar, Wermaktian dan Selaru merupakan wilayah yang masih bisa didorong pengembangannya, disamping wilayah-wilayah lain.


Hasil analisis spasial terhadap potensi wilayah pengembangan perikanan ikan karang dan ikan hias menunjukan bahwa PP. Babar merupakan wilayah potensial untuk pengembangan. Namun sejauh mana pengembangannya sangat tergantung pada potensi sumberdaya yang ada dan sumberdaya manusia pengelolanya. Mdona Hiera, Selaru dan Tanimbar Utara merupakan wilayah yang berpotensi menjadi prioritas pengembangan, disamping wilayah-wilayah lain.


Analisis untuk perikanan pelagis dan demersal menunjukan bahwa wilayah yang berada pada kwadran I merupakan wilayah-wilayah ini masih lemah baik dari aspek potensi sumberdaya maupun dari aspek pemilikan sarana penangkapan. Wilayah tyang termasuk dalam Kwadran II harus didorong melalui peningkatan kapasitas produksi terutama skill masyarakat, di Kwadran III dapat didorong melalui peningkatan sarana penangkapan, sedangkan Kwadran IV harus tetap dipertahankan dinamikanya melalui pendampingan terpadu.


STRATEGI PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL BERKELANJUTAN


a. Perencanaan wilayah pengembangan melalui Pendekatan Wilayah Ekologis

Pendekatan wilayah ekologis yang dimaksudkan ialah pendekatan melalui keseragaman potensi biogeofisik wilayah, baik potensi sumberdaya alam, kondisi geologis, musim dan orientasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Secara Ekologis Kabupaten MTB dapat dikelompokkan atas 9 (sembilan Wilayah Wkologis (WE), antara lain : Tanimbar Utara, Tanimbar Barat, Tanimbar Timur, Tanimbar Selatan, PP. Babar, Kisar-Lemola-Sermata, PP. Damer, PP. Romang dan Wetar Lirang.


b. Penentuan Kluster Wilayah Prioritas Pengembangan Sumberdaya

Penentuan Kluster didasarkan pada tipologi wilayah berbasis komoditas, baik untuk pengembangan perikanan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, karang dan hias, dan potensi sumberdaya lainnya. Klusterisasi ini sangat bermanfaat untuk menentukan spesialisasi komoditas sekaligus memberikan batasan bagi kebijakan pengembangan komoditas berbasis potensi lokal.


c. Pendekatan Optimalisasi Produksi, Orientasi Pasar dan Dinamisasi Investasi sebagai sistem yang dinamis

Peningkatan volume produksi berbasis potensi sumberdaya lokal, dan peningkatan kualitas produksi, mendekatkan pasar dengan sumber produksi, menarik investasi dari luar sekaligus menggerakkan investasi internal wilayah.


d. Peruntukan wilayah konservasi

Penetapan wilayah konservasi sebagai bagian dari upaya perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan dari potensi wilayah yang akan dikembangkan. Konservasi diarahkan secara optimal untuk mendukung juga Ekowisata bahari dan Wisata Ilmiah.


e. Pengembangan infrastruktur Kelautan dan Perikanan
Pengembangan infrastruktur wilayah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah prioritas pengembangan sumberdaya, yang meliputi pelabuhan perikanan dengan kelengkapan coldstorage dan bengkel perikanan serta SPBN. Disamping itu untuk wilayah-wilayah pengembangan budidaya diharapkan adanya hatchery dan sarana pendukung lain seperti laboratorium. Di sisi lain kebutuhan infrastruktur pengolahan hasil perikanan juga menjadi prioritas untuk meningkatkan nilai tambah dari stiap hasil produksi.


f. Peningkatan Kualitas Kelembagaan, Potensi Kelembagaan Lokal dan Integrasi Kelembagaan

Beberapa pendekatan yang sangat dibutuhkan antara lain : Penguatan data base, Penataan kelembagaan pengelola, kelembagaan lokal yang integratif mulai dari tingkat perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi, serta menggalang kemitraan dengan swasta dan lembaga keuangan dalam rangka penarikan investasi dan pemupukan modal.


g. Peningkatan Kualitas SDM dan Pendampingan

Peningkatan kualitas SDM di tingkat dinas, staf lapangan dan masyarakat nelayan dilakukan secara proporsional sebagai bagian dari upaya mendukung sistem kelembagaan dinas, kelembagaan pengelola kelautan dan perikanan di tingkat lokal serta ketrampilan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.


h. Legalisasi Sistem dan Regulasi di Tingkat Daerah
Legalisasi Dokumen Data dan Informasi, Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi, Rencana Detail, Struktur kelembagaan dan kelembagaan pendukung di tingkat lokal kecamatan/desa, termasuk dukungan regulasi terhadap sistem nilai lokal serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di pulau-pulau kecil.

Jumat, 09 November 2007

KAJIAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERWAWASAN LINGKUNGAN PADA KAWASAN TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN KEI KECIL

STUDY ON ECO-FRIENDLY FISHING DEVELOPMENT
IN CORAL REEF AREA OF KEI KECIL ISLANDS


James Abrahamsz (abrahamsz_amq@yahoo.com)
Study Program of Aquatic Resource Management
Faculty of Fisheries and Marine Science, Pattimura University, Ambon

Dicky Sahetapy (dsahetapy@yahoo.com)
Study Program of Aquatic Resource Management
Faculty of Fisheries and Marine Science, Pattimura University, Ambon

Hansje Matakupan (hans_eline@yahoo.com)
Study Program of Fishery Resources Utilization
Faculty of Fisheries and Marine Science, Pattimura University, Ambon

Donald J. Noija
Study Program of Fishery Resources Utilization
Faculty of Fisheries and Marine Science, Pattimura University, Ambon



ABSTRACT

Demersal fishes used in Kei Kecil Islands were quick developing, mainly in coral reef area. Fishing methods which developed tend to pressure the coral reef, include both bomb and cyanide use. The aims of this study were to know demersal fishing conditions, analyze the pressure potential on coral reef, analyze the opportunities to develop eco-friendly fishing, and define the policies of eco-friendly fishing. To study on eco-friendly fishing development in coral reef was analyzed the potential estimation, calculated the sustainable potential, used level and total allowable catch and policy analysis. Totally fishing boats were 1.576 units, 83,38 % boat with engine, 4,57 % inner engine and 12,06 % outer engine. Demersal fish’s productions in Kei Kecil were 84.382,3 ton and 2.144,8 tons in Kur islands. Coraf reef fishes which identified were 256 species (in 116 genera and 35 families), family of Pomacentridae with 48 species and genus of Chaetodon (19 species). Coral reef conditions in Kei Kecil islands were poor, only in three locations which have good coral reef condition (Rumahdian, Ngadi and Rat Island). Strong pressures were identified on Kolser, Ohoililir, Nai island dan Toyando Island. Total allowable catch in Kei Kecil were 218,68 ton and Kur islands were 79,47 ton. The policies of eco-friendly fishing development were defined to develop the eco-friendly fishing gears and technology innovations at fisher level, such as develop more than three nautical miles of management area. Another possible policies to be developed were develop the partnership among fisherman, finance and recovery institutions and local government; law enforcement on destructive fishing; public awareness; and monitoring dan evaluation.

Key words : Eco-friendly Fishing, law enforcemnet, public awareness
PENDAHULUAN

Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari, merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara.

Di sisi lain pemanfaatannya, sumberdaya ikan akan dipandang sebagai sumberdaya milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan. Sebagai konsekuensinya, semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan. Sampai dengan tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan baru dapat dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3.82 juta ton (Dahuri, 2001). Kondisi ini tidak serta merta merupakan kondisi yang ditemukan secara umum, tetapi merupakan hasil penilaian secara agregat. Artinya, banyak kawasan yang ternyata telah mengalami tekanan akibat pemanfaatan yang berlebihan atau karena pemanfaatan yang merusak.

Kondisi yang dikemukakan terakhir ini ditemukan pada perairan Maluku terutama di perairan Maluku Tenggara. Kepulauan Kei Kecil sebagai salah satu kawasan di Maluku Tenggara umumnya memiliki pantai berpasir dan pantai berkarang (coral reef coast), terutama di wilayah pantai Barat pulau Kei Kecil (Nuhuroa) dan pulau-pulau kecil di wilayah pantai Barat. Pantai berbatu terjal akibat gempuran ombak umumnya ditemui pada pantai Selatan pulau Nuhuroa (sekitar Somlain hingga Ohoidertutu), pantai batu terjal (clif coast) di Teluk Tut – Watdek, pantai terjal lain terdapat di pulau Manir, Pulau Kur dan Kamear. Pantai pasir di Kepulauan Kei Kecil umumnya merupakan pasir putih yang mengandung carbonates dan berasal dari terumbu karang (coral reef). Selain teluk-teluk tersebut terdapat pula beberapa tanjung yang menjorok ke laut (headland) yang merupakan pusat gempuran ombak dan diselingi oleh teluk terbuka dan berpasir.

Gambaran kondisi geomorfologi seperti ini memberikan peluang yang kuat bagi berkembangnya perikanan tangkap terutama untuk sumberdaya ikan demersal. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Kepulauan Kei Kecil ternyata berkembang sangat cepat, terutama penggunaan metode penangkapan yang berhubungan langsung dengan terumbu karang di kawasan ini. Berbagai metode penangkapan yang dikembangkan dalam hubungannya dengan penangkapan sumberdaya ikan demersal antara lain : jaring insang dasar (bottom gill net), pancing (angling gear), bubu (fish trap) dan alat tangkap lainnya. Dari seluruh jenis alat tangkap yang dikembangkan untuk perikanan demersal ternyata cukup memberikan tekanan bagi kondisi terumbu karang yang ada di kawasan ini. Namun demikian, metode penangkapan yang menyebabkan meningkatnya kematian terumbu karang ialah penangkapan dengan menggunakan potasium sinanida yang telah dikembangkan lebih dari 10 tahun lalu.

Didasarkan pada dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan perikanan demersal, maka kajian terhadap pengembangan perikanan tangkap pada kawasan terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil penting dilakukan untuk menemukan konsep perikanan tangkap berwawasan lingkungan dan arahan kebijakannnya. Arahan kajian di Kepulauan Kecil dilakukan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Kei Kecil dan P.P. Kur (Gambar 1).

Gambar 1. Wilayah studi dalam wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tenggara
(Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004)

Kajian ini dilakukan dengan tujuan : (1) mengetahui kondisi perikanan tangkap sumberdaya ikan demersal; (2) menganalisis potensi tekanan yang diberikan oleh kegiatan perikanan demersal terhadap kondisi terumbu karang; (3) menganalisis peluang pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan; dan (4) merumuskan arahan kebijakan pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan.

METODOLOGI
Koleksi Data
Koleksi data kuantitatif dan kualitatif, dilakukan secara langsung (data primer) maupun secara tidak langsung (data sekunder). Obyek utama kajian ini ialah daerah penangkapan ikan, armada penangkapan ikan, produksi perikanan, dan peluang pengembangan serta arahan kebijakan pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan. Pengumpulan data melalui wawancara, mengoleksi data dan informasi pada institusi terkait serta pengukuran langsung di lapangan atau dengan cara memantau aktifitas produksi. Faktor-faktor yang dianalisis meliputi : (1) potensi dan produksi sumberdaya ikan, (2) eksistensi armada dan peralatan tangkap, (3) peluang pengembangan dan (4) arahan kebijakan.

Analisis Data
Potensi dan Produksi Sumberdaya Perikanan
Potensi sumberdaya ikan diestimasi dengan metode pengukuran wilayah penyebaran ikan (Widodo dkk, 1998) dan luas wilayah dihitung dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG). Densitas sumberdaya dikaji berdasarkan hasil pengkajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2001). Potensi lestari diestimasi dengan menggunakan model CADIMA (Gulland, 1991; King, 1995; Sparre and Venema, 1998) dengan persamaan sebagai berikut :
Py = 0,5 Z B¥ ............................................................................ (1)
Oleh karena Z = M + F dan Y = FB, maka persamaannya menjadi :
Py = 0,5 (Y + MB) ............................................................... (2)
Y = y1 + y2 + … + y12 = . 12 ……………………..…………… (3)
dimana :
Py = potensi lestari (potential yield) dengan satuan berat/tahun
Z = mortalitas total
B¥ = rata-rata biomassa tahunan stok yang belum diusahakan
B = rata-rata biomassa tahunan stok yang telah diusahakan
M = mortalitas alami (digunakan nilai rata-rata M = 1) per tahun
F = upaya penangkapan
Y = hasil tangkapan atau produksi

Analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap berdasarkan potensi (kelimpahan) sumberdaya ikan diperairan Kei Kecil dan besarnya stok ikan yang dieksploitasi oleh unit-unit penangkapan. Tingkat Pemanfaatan dihitung dengan formula (1) dan formula (2) di atas, yakni :

TP = Y/B x 100 % ……………………….………………………. (4)

Karena Total Allowable Catch (TAC) yakni 80 % dari potensi lestari, sehingga :
TAC = 0,8 MSY = 0,8 Py ………………………………………… (5)

Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan dilakukan berdasarkan arahan dari peluang pengembangan dan potensi pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan yang disesuaikan dengan kondisi wilayah Kepulauan Kei Kecil yang sebagian besar terdiri dari kawasan terumbu karang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Perikanan Demersal
Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan
Jenis-jenis alat penangkapan dengan tujuan penangkapan ikan demersal yang beroperasi di perairan Kepulauan Kei Kecil dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok alat penangkapan ikan, antara lain : jaring insang dasar (bottom gill net), pancing (angling gear), bubu (fish trap) dan alat tangkap lainnya. Terdata sebanyak 2.345 unit alat tangkap yang beroperasi pada perairan Kepulauan Kei Kecil. Sebaran jenis dan jumlah alat penangkapan ikan tersebut per kecamatan di Kepulauan Kei Kecil dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan per kecamatan di Kepulauan Kei Kecil
Sumber : Statistik Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara 2004

Di Perairan Kepulauan Kei kecil, alat tangkap pancing (angling gear) paling banyak digunakan oleh nelayan (54,16 %). Nelayan-nelayan yang menggunakan pancing terbanyak di Kecamatan Kei Kecil yakni 830 unit, sedangkan di Kecamatan P.P. Kur sebanyak 440 unit. Jaring insang dasar (bottom gill net) yang dioperasikan sebanyak 220 unit (9,38 %), 212 unit beroperasi di Kei Kecil dan 8 unit beroperasi di P.P. Kur. Alat tangkap bubu (trap net) yang hasil tangkapannya banyak dikonsumsi oleh masyarakat lokal maupun diekspor, berjumlah 455 unit (19,40 %). Dari jumlah tersebut, 345 unit ditemukan di Kei Kecil dan di P.P. Kur sebanyak 110 unit.

Jenis dan Jumlah Armada
Total armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kepulauan Kei Kecil sebanyak 1.576 unit (Tabel 2). Bila dikelompokan menurut tenaga penggeraknya, didominasi oleh kapal/perahu tanpa motor 1.314 (83,38) %, mesin dalam sebanyak 190 unit (12,06 %) dan motor tempel sebanyak 72 unit (4,57 %). Dari seluruh armada yang terdata, sebagian besar berada pada Kecamatan Kei Kecil yakni sebanyak 1.103 unit, sedangkan jumlah armada di P.P. Kur sebanyak 473 unit.

Tabel 2. Jumlah dan jenis armada penangkapan berdasarkan tenaga penggeraknya yang beroperasi di Kepulauan Kei Kecil
Sumber : Statistik Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara 2004


Produksi
Hasil pendataan terhadap total produksi perikanan dari pada Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan pada tahun 2003 berjumlah 94.599,3 ton, terdiri dari komoditas perikanan tuna, pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan komoditas perikanan lainnya. Pada wilayah studi Produksi ikan dari Kecamatan Kei Kecil terdata paling banyak yakni 84.382,3 ton atau 89,2 %. Produksi ikan dari 4 (empat) Kecamatan lainnya yakni Kecamatan Kei Besar sebanyak 2.706 ton (2,86 %), Kei Besar Selatan sebanyak 2.685 ton (2,84 %), Kecamatan Kei Besar Utara Timur 2.681,2 ton (2,83 %) dan Kecamatan P.P. Kur 2.144,8 ton (2,27 %).

Produksi perikanan di atas, terutama untuk ikan demersal dan ikan karang, didukung oleh potensi ikan yang terdistribusi pada wilayah tersebut. Untuk kawasan Kepulauan Kei Kecil, ditemukan komposisi jenis ikan karang sebanyak 256 spesies, yang tergolong dalam 116 genera dan 35 famili. Famili-famili yang memiliki jumlah spesies lebih dari 10 antara lain Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Serranidae, Achanthuridae dan Scaridae. Famili yang memiliki jumlah spesies tertinggi yaitu famili Pomacentridae (48 spesies), selanjutnya genera yang memiliki jumlah spesies tertinggi adalah Chaetodon (19 spesies).

Untuk kepentingan distribusi Terdata ada 3 (tiga) pasar yang menyediakan produk perikanan kepada masyarakat Maluku Tenggara, terutama Kota Tual sebagai pusat wilayah. Beberapa pasar utama yang ada di Kota Tual antara lain : Pasar Ohoijang, Pasar Tual dan Pasar Langgur. Komoditas perikanan yang dipasarkan di Kota Tual sebagian besar merupakan hasil tangkapan nelayan-nelayan yang berasal dari Desa-Desa yang berada di Pulau-Pulau di sekitar Kota Tual (Kei Kecil). Tabel 3 memberikan gambaran tentang banyaknya ikan yang dipasarkan di 3 (tiga) pasar tersebut setiap harinya per komoditas perikanan, sekaligus banyaknya ikan yang dipasarkan rata-rata setiap bulan dan dalam setahun.

Tabel 3. Jumlah komoditas ikan demersal yang dipasok di pasar-pasar di Kota Tual menurut asalnya

Sumber : Data lapangan, 2004

Hasil lapangan menunjukkan 9 (sembilan) desa utama merupakan pemasok komoditas perikanan demersal di pasar yang berada di Kota Tual. Nelayan-nelayan dari desa Selayar dan Ngilngof adalah pemasok ikan terbesar untuk pasar ikan Ohoijang, dari Kepulauan Tayando adalah pemasok ikan terbesar untuk pasar ikan Tual dan Pasir Panjang adalah pemasok ikan terbesar untuk pasar ikan Langgur. Berdasarkan frekuensi pasokan ikan di pasar, maka kelompok ikan demersal dipasok ke pasar antara 5 – 10 kali sebulan. Sedangkan frekuensi pasokan ikan tuna dan cakalang mencapai 6 (enam) bulan setahun, yakni pada bulan September sampai bulan Maret. Sementara frekuensi pasokan secara bulanan mencapai 24 – 28 kali sebulan. Berdasarkan tingkatan harga, maka distribusi harga ikan yang dipasok ke pasar-pasar yang ada di Tual sebagai berikut : harga ikan demersal mentah antara Rp. 7.500.- sampai Rp. 10.000,- per ekor atau Rp. 10.000,- sampai Rp. 12.500 per kg.

Pengaruh Terhadap Kondisi Terumbu
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kegiatan-kegiatan penangkapan yang sangat berpengaruh terhadap kondisi karang antara lain : penangkapan dengan bom dan potasium sianida. Sedangkan alat tangkap lain yang juga memberikan dampak terhadap penurunan kondisi terumbu karang ialah bubu. Opersionalisasi alat-alat tangkap yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa tekanan akan diberikan terhadap terumbu karang apabila kegiatan ini tidak dibatasi atau dikontrol dengan baik.

Pengaruh kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif di atas ternyata turut memberikan pengaruh terhadap eksistensi terumbu karang. Sebagai gambaran umum terhadap kondisi terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil, dapat dikemukakan hasil interpretasi Citra terhadap luas penutupan lahan. Hasil analisis citra menemukan adanya 13 jenis ekosistem yang terdistribusi dari darat sampai ke laut (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa Kepulauan Kei Kecil mempunyai persentase penutupan Terumbu Karang sebesar 34% (38.506,9 ha).


Tabel 4. Luas Penutupan Lahan (Ha) di Kepulauan Kei Kecil
Sumber : Bappeda Kab. Maluku Tenggara (2003)

Sebaran dan kondisi terumbu karang di Kei Kecil diamati pada tujuh lokasi. Spesies-spesies karang yang dijumpai masing-masing 69 spesies yang tergolong dalam 29 genera (marga) dan 13 famili (suku). Famili Acroporidae memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu 27 spesies. Rumahdian merupakan lokasi yang memiliki jumlah spesies karang terbanyak yaitu 25 Spesies, sedangkan jumlah spesies paliung sedikit ditemukan pada lokasi P. Nai dan P. Rat (Tabel 5). Hasil interpertasi Citra Landsat ETM 7+ Tahun 2003 menunjukkan lokasi potensial terumbu karang terdapat pada kawasan P. Tayando.

Tabel 5. Jumlah jenis, distribusi dan persen tutupan karang pada tujuh lokasi di Kepulauan Kei Kecil

Tabel ini memberikan gambaran bahwa secara umum kondisi terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan. Hanya tiga lokasi pengamatan yang memiliki kondisi karang baik dengan persen tutupan karang hidup > 50%. Lokasi-lokasi tersebut adalah Rumahdian, Ngadi dan P. Rat. Kondisi terumbu karang seperti ini menunjukkan adanya tekanan yang kuat terhadap eksistensinya di Kepulauan Kei Kecil, terutama pada lokasi-lokasi seperti Kolser, Ohoililir, P. Nai dan P. Toyando.

Kerusakan terumbu karang banyak diakibatkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti misalnya penggunaan racun, bom dan bubu tindis. Ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan setempat tetapi juga dilakukan oleh nelayan-nelayan pendatang dari Kepulauan Yamdena bahkan nelayan-nelayan asing. Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil banyak terjadi di Pulau Dullah, Warbal, Ur dan Tayando.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terumbu karang ada yang telah memutih dan adanya patahan-patahan karang yang nyata di areal terumbu dengan persen penutupan kurang dari 50%. Informasi lain yang diperoleh dari masyarakat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pedagang pengumpul yang mendatangi pulau-pulau kecil di Kepulauan ini bekerjasama dengan nelayan-nelayan setempat. Usaha yang dilakukan ialah memfasilitasi nelayan dengan motor tempel dan keramba penampung ikan kerapu dan napoleon yang ditangkap dengan menggunakan potassium (sianida).

Hampir semua daerah terumbu karang yang di teliti di perairan Kepulauan Kei Kecil mengalami kerusakan akibat kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Tingkat kerusakan terumbu karang tertinggi dijumpai di Ngadi. Selain itu kerusakan terumbu karang juga disebabkan kegiatan penurunan dan penaikan jangkar speed boat karena dijumpai koloni-koloni karang dari marga Acropora dan Montipora yang patah dan berada dalam keadaan terbalik.

Peluang Pengembangan
Luas perairan yang menjadi wilayah kelola Kabupaten Maluku Tenggara adalah 5.894,86 km2.. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Republik Indonesia tanggal 5 April 1999 No. 392/Kpts./IK 120/4/99, tentang jalur-jalur penangkapan ikan, maka luas daerah penangkapan ikan 0-3 mil (Ia) perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah 4.422 km2 dan 3– 6 mil (Ib) adalah seluas 1.473,85 km2. Gugus Pulau Kei Kecil memiliki wilayah pengelolaan perairan terluas yang dapat dijadikan daerah penangkapan, yakni 3.238,13 km2 dengan luas wilayah 0 – 3 mil laut 1.746 km2 dan wilayah 3 – 6 mil seluas 582,13 km2. Gugus Pulau Kur memiliki wilayah pengelolaan perairan seluas 1.124 km2 dengan wilayah 0 – 3 mil seluas 843 km2 dan wilayah 3 – 6 mil seluas 281 km2. Gugus Pulau Tayando memiliki wilayah pengelolaan perairan terkecil yakni seluas 892,5 km2 dengan luas wilayah 0 – 3 mil sebesar 669 km2 dan wilayah 3 – 6 mil seluas 223,13 km2.

Hasil analisis terhadap potensi kawasan penangkapan di Kepulauan Kei Kecil menunjukkan bahwa awasan perikanan tangkap yang dapat direkomendasikan sebagai kawasan potensial perikanan tangkap terfokus pada beberapa kawasan (Gambar 2), antara lain :
· Kawasan perairan sebelah Utara Pulau Dullah yang dipengaruhi oleh dua massa air, Laut Banda dan Laut Arafura,
· Perairan antara pulau-pulau Kur dan Tayando serta perairan Selatan Kei Kecil yang dipengaruhi oleh massa Laut Banda
· Perairan Selat Nerong yang terletak antara Pulau Kei Kecil dan Kei Besar
· Perairan Timur Kei Kecil yang dipengaruhi oleh massa air Laut Arafura

Gambar 2. Rencana Kawasan Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara
(Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004)

Hasil estimasi eksploitasi sumberdaya ikan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dari perairan yang menjadi wilayah kelola Kepulauan Kei Kecil untuk 3 (tiga) komoditas utama perikanan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Eksploitasi yang diperbolehkan (TAC) untuk tiga komoditas utama per Kecamatan pada wilayah kelola 4 mil laut di Kepulauan Kei Kecil

Ikan demersal termasuk ikan karang konsumsi yang diproduksi dari perairan 4 mil laut Kecamatan Kei Kecil sebanyak 35,4 ton dan di Kecamatan P. P. Kur sebanyak 13,23 ton. Bila alat-alat penangkapan ikan demersal dan ikan karang lainnya tidak ditambah, maka jaring insang dasar (bottom gill net) yang dapat ditambah di perairan Kecamatan Kei Kecil sebanyak 49 unit dan di Kecamatan P.P. Kur sebanyak 18 unit. Bubu (trap net) disarankan untuk tidak ditambah penggunaannya di perairan Kabupaten Maluku Tenggara karena berpotensi untuk merusak karang.

Arahan Kebijakan
Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa untuk mengindari tekanan yang kuat terhadap terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil, maka rekomendasi yang penting diberikan ialah dengan mengalihkan sebagian kegiatan penangkapan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis besar. Disamping itu berbagai upaya untuk pengawasan dam penanganan permasalahan yang muncul pada kawasan terumbu karang perlu dikembangkan. Beberapa arahan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Kepulauan Kei Kecil antara lain :
· Pengembangan peralatan yang bersifat ramah lingkungan dan mudah dikuasi oleh masyarakat.
· Pengembangan teknologi penangkapan yang diikuti dengan penguatan kapasitas nelayan untuk memperkuat inovasi teknologi di tingkat nelayan, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis sedang dan besar.
· Pengembangan kemitraan antara nelayan, lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemberdayaan dan pemerintah daerah.
· Pengembangan sistem data base perikanan tangkap.
· Untuk menjaga kestabilan produksi usaha perikanan bagan dalam rangka menunjang industri perikanan, maka kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil di kawasan teluk dan perairan antar pulau perlu dilakukan.
· Pengembangan teknologi penangkapan semi moderen dan moderen diarahkan ke wilayah pengelolaan di atas 3 mil laut.
· Pelarangan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan hewan laut yang dilindungi termasuk penggunaan alat tangkap dan metode penangkapan yang bersifat destruktif.
· Pendidikan, pelatihan dan pendampingan terhadap upaya penyadaran masyarakat tentang pentingnya penangkapan yang berwawasan lingkungan.
· Monitoring dan Evaluasi terhadap kegiatan penangkapan.

Untuk mendukung kegiatan usaha perikanan tangkap pada kawasan terumbu karang di Kepulauan Kei Kecil, maka beberapa arahan yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan pengelolaan kawasan terumbu karang, antara lain :
· Upaya pengaturan tata guna lahan daratan dan reboisasi lahan atas adalah penting untuk meminimalkan tekanan sedimentasi terhadap ekosistem terumbu karang di perairan pesisir.
· Manajemen limbah rumah tangga dan fasilitas umum juga penting sehingga laut lingkungan pesisir tidak dijadikan tempat pembuangan sampah yang mudah dan murah oleh penduduk yang berdomisili di sekitar areal terumbu karang.
· Penataan sistem pemanfaatan dan pengaturan terhadap alat tangkap serta pengembangan teknologi dan metode pemanfataan yang tertuang dalam suatu tata aturan yang didasarkan pada kajian sumberdaya, lingkungan dan teknologi.
· Pendidikan dan latihan, penyuluhan, serta pendampingan yang intensif merupakan program penting dalam sistem pengelolaan guna menumbuhkan pemahaman dan kesadaran konservasi bagi masyarakat pengguna terumbu karang serta masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara pada umumnya.
· Sejumlah lokasi terumbu karang yang telah menurun kualitasnya, membutuhkan upaya pengelolaan melalui pendekatan rehabilitasi (transplantasi, terumbu karang buatan dll), untuk mengembalikan fungsi/manfaat alamiahnya.
· Seluruh kawasan yang memiliki terumbu karang dapat dikembangkan sebagai areal budidaya laut yang potensial dan ekowisata.
· Penetapan aturan formal pengelolaan kawasan dengan mempertimbangkan sistem pengelolaan lokal.
· Menyusun rencana pengelolaan terpadu kawasan terumbu karang.
· Integrasi kelembagaan pengelola kawasan konservasi terumbu karang.
· Pengembangan konsep pengelolaan berbasis masyarakat.
· Penetapan aturan formal tingkat daerah untuk perlindungan kawasan terumbu karang.
· Penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan di kawasan terumbu karang yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan di wilayah pesisir Kabupaten Maluku Tenggara.
· Monitoring dan Evaluasi terhadap status kondisi zona lindung lokal.

ANALISIS LINGKUNGAN (SWOT) DAN ANALISIS STRATEGIS (TOWS)

Oleh :
James Abrahamsz


PENGANTAR

· Analisis SWOT merupakan alat yang cukup layak memahami dan mengambil keputusan untuk seluruh situasi organisasi.
· Analisis SWOT merupakan pedoman yang baik untuk mereview strategi, posisi and arah suatu organisasi.
· Analisis SWOT akan sangat bermanfaat ketika dilakukan dalam bentuk pertemuan yang lebih mengandalkan brainstorming.
· Analisis SWOT dapat digunakan perencanaan bisnis, perencanaan strategis, evaluasi pesaing, pemasaran, dan pengembangan produk-produk unggulan, disamping membantu dalam pelaporan hasil-hasil penelitian.
· Analisis SWOT merupakan suatu assessment yang sifatnya subjektif berdasarkan data yang dapat dielaborasi secara logis.
· Orang sering berpikir SWOT merupakan titik akhir dari suatu analisis strategis. Padahal SWOT berfungsi untuk mengelompok isu-isu strategis dalam empat komponen analisis SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan/Acaman).
· Isu-isu strategis yang dimaksud harus dibedakan berdasarkan posisi dan aktualisasinya pada lingkungan. Mengapa ?
· SWOT seharusnya diturunkan atas : (1) Lingkungan Internal (Internalitas) yang meliputi Kekuatan dan Kelemahan; dan (2) Lingkungan Eksternal (Eksternalitas) yang meliputi : Peluang dan Tantangan/Ancaman.
· Untuk mencapai Analisis Strategis, sangat dibutuhkan langkah lanjutan yang disebut dengan Analisis Strategis TOWS.

BEBERAPA MODEL TAMPILAN SWOT
A. Pie Diagram

Gambar 1


B. Calender

Gambar 2


C. Positive and Negative Table

Gambar 3


D. Envelope Cover

Gambar 4


E. Integrated Pentagon

Gambar 5


BAGAIMANA MENYUSUN SWOT ?

Gambar 6


APLIKASI ANALISIS LINGKUNGAN (SWOT)

Analisis lingkungan ini akan dilakukan dalam dua tahapan yaitu : (1) analisis lingkungan internal yang meliputi komponen kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan dihadapi oleh kawasan serta (2) analisis lingkungan eksternal dengan dua komponen utamanya antara lain peluang dan tantangan / ancaman. Paling tidak konteks analisis ini diarahkan pada kekuatan/potensi, kelemahan, peluang dan tantangan dalam pengembangan wisata alam dan minat khusus penangkaran kupu-kupu. Dan batasan yang diberikan dalam kaitan dengan penentuan lingkungan analisis ialah internal dan eksternal kawasan pengembangan.


A. Internalitas
Aspek-aspek yang teridentifikasi sebagai kekuatan yang dimiliki oleh kawasan antara lain : potensi sumberdaya alam, potensi atraksi, dan kelembagaan lokal. Secara umum kajian tentang kekuatan yang dimiliki oleh kawasan ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Potensi sumberdaya alam yang cukup tinggi dan memiliki nilai ekonomis penting dan banyaknya sumberdaya hayati yang dilindungi. Disamping itu potensi ini secara terpadu dengan kondisi wilayah yang kaya akan produk-produk potensial wisata alam seperti pengamatan satwa (khususnya satwa liar dan yang dilindungi) dll.
2. Potensi atraksi berupa sungai, air terjun, pantai, gua, hutan, gunung dan suaka margasatwa yang merupakan bagian dari komponen-komponen utama yang dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata alam.
3. Eksitensi LSM lokal dan kelembagaan adat sebagai potensi lembaga lokal dalam pengelolaan kawasan secara partisipatif dan upaya-upaya pengawasannya. Demikian juga kelembagaan pengelola di tingkat institusi kehutanan yang memiliki struktur organisasi dan sistem pengelolaan yang jelas.
Di sisi lain, aspek-aspek yang teridentifikasi sebagai kelemahan kawasan antara lain : kapasitas sumberdaya manusia, totalitas informasi potensi wisata alam dan wisata minat khusus, eksistensi infrastruktur wilayah, serta eksistensi rencana detail. Penjabarannya secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Kapasitas sumberdaya manusia yang masih lemah dan secara kuantitatif masih sangat kurang tenaga trampil yang dapat digunakan dalam pengembangan kegiatan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.
2. Belum seluruh informasi potensi wisata alam dan wisata minat khusus yang yang terekplorasi secara total. Paling tidak keragaman potensi wisata menjadi penting dalam mendukung pengembangan wisata alam dan wisata minat khusus ke depan.
3. Eksistensi infrastruktur wilayah yang belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.
4. Untuk kepentingan pengembangan, rencana detail pengembangan sama sekali belum ada demikian juga rencana tapak atau rencana tata ruang detail.


B. Eksternalitas
Aspek-aspek yang teridentifikasi sebagai peluang yang penting untuk dimanfaatkan oleh kawasan meliputi : dukungan kebijakan, model-model pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu, dukungan integrasi kelembagaan, serta meningkatnya jumlah peminat wisata alam dan wisata minat khusus. Penjabaran peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan oleh kawasan secara umum sebagai berikut :
1. Dukungan kebijakan untuk pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu tidak hanya pada tingkat regulasi tetapi juga pada tataran implementasi kebijakan baik pada level internasional, regional, nasional, provinsi, kabupaten maupun kawasan. Dukungan ini juga
2. Berkembangnya berbagai model pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu dapat dijadikan dasar bagi penentuan pilihan terhadap model-model pengembangan yang sesuai dengan kondisi wilayah.
3. Dukungan integrasi kelembagaan yang dituntut dalam penyelenggaraan otonomisasi daerah, paling tidak dapat memberikan pencerahan dalam pengembangan kegiatan dan efisiensi dalam pemanfaatan dana-dana pembangunan.
4. Semakin berkurangnya luasan kawasan-kawasan konservasi menyebabkan meningkatnya pilihan kelompok-kelompok leasure class terhadap kegiatan wisata alam dan wisata minat khusus yang mengakomodasi kepuasan terhadap atraksi alami dan pengamatan sumberdaya hayati endemik. Disamping itu peningkatan peminat kegiatan wisata alam dan wisata minat khusus masih banyak yang belum terakomodasi.

Komponen lain dari eksternalitas lingkungan analisis ialah tantangan/ancaman dengan aspek-aspek yang teridentifikasi antara lain : akses terhadap kawasan, adanya pesaing, dan orientasi dunia usaha. Penjabaran secara umum menunjukan bahwa kawasan ini masih memiliki beberapa hambatan / ancaman dalam pengembangan meliputi :
1. Kondisi wilayah dengan topografi yang relatif miring sehingga memberikan resistensi yang tinggi untuk mengakses lokasi pengembangan. Demikian juga akses lokasi yang harus melalui perjalanan darat dan laut secara bergantian karena akses langsung melalui jalan darat relatif lemah.
2. Adanya pesaing baik pesaing jenis wisata lain demikian juga wisata alam dan wisata minat khusus yang telah berkembang di kawasan lain di Indonesia terutama Indonesia Timur
3. Orientasi dunia usaha terhadap kegiatan wisata alam dan wisata minat khusus masih sangat kurang. Hal ini terlihat dari masih banyak kawasan-kawasan potensial wisata alam yang minim investasi.


APLIKASI ANALISIS STRATEGIS (TOWS)
Berdasarkan hasil konfrontasi seluruh aspek yang ada dalam komponen internalitas dan eksternalitas, maka ditemukan 4 skenario utama masing-masing : (a) Skenario I (Strategi SO) : Mobilisasi dengan 4 rencana pengembangan; (b) Skenario II (Strategi ST) : Diversifikasi yang meliputi 3 rencana pengembangan; (c) Skenario III (Strategi WO) : Investasi juga meliputi 4 rencana pengembangan; dan (d) Skenario IV (Strategi WT) : Pengembangan Kapasitas dengan 3 rencana pengembangan.

Secara rinci rumusan skenario, rencana dan arahan pengembangan akan dijabarkan pada bagian berikut ini. Muatan skenario, rencana dan arahan pengembangan ini yang kemudian ditetapkan sebagai komponen utama Rencana Induk Pengembangan Wisata Alam Dusun Masihulan dan Penangkaran Kupu-Kupu Desa Piliana.


7.1. Skenario I : Mobilisasi (Strategi SO)
a. Rencana Pengembangan :
1. Pengembangan model wisata alam dan penangkaran kupu-kupu berbasis potensi lokal; dimaksudkan untuk mengimplementasi kegiatan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu yang memanfaatkan potensi lokal, dan diharapkan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan wilayah lain. Paling tidak kondisi ini perlu diciptakan dengan menggerakan seluruh potensi lokal yang dikenal oleh pengelolanya.
2. Pengembangan integrasi sistem manajemen kelembagaan pengelola; dimaksudkan untuk menciptakan sinergitas antara potensi kelembagaan yang ada secara formal di level pemerintah maupun yang informal di level masyarakat. Sistem yang diharapkan jalan ialah dalam bentuk kolaborasi antar seluruh potensi kelembagaan.
3. Sosialisasi informasi dan promosi; dimana potensi sumberdaya alam dan potensi atraksi yang beragam dapat dikenal oleh masyarakat lokal maupun peminat wisata alam dan wisata minat khusus.
4. Penetapan regulasi pengelolaan kawasan; sebagai upaya melegitimasi konsep pengelolaan dan penetapan kawasan pengelolaan. Produk inilah yang diharapkan mengakomodasi seluruh bentuk pengawasan yang terkait dengan penegakan hukum.


b. Arahan Pengembangan :
1. Pengembangan model wisata alam dan penangkaran kupu-kupu berbasis potensi lokal sedapatnya melibatkan masyarakat lokal dan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan kegiatan.
2. Pengembangan integrasi sistem manajemen kelembagaan pengelola hendaknya didahului dengan identifikasi ulang potensi kelembagaan dan penetapan manajemennya diarahkan secara partisipatif.
3. Sosialisasi informasi dan promosi dilakukan dengan memanfaatkan seluruh media informasi dan melakukan kegiatan-kegiatan promo di dalam kawasan maupun di sekitar kawasan untuk menarik perhatian peminat wisata alam dan wisata minat khusus penangkaran kupu-kupu.
4. Penetapan regulasi pengelolaan kawasan perlu didahului dengan pembuatan draft akademik yang proses penyusunannya turut mengakomodasi komponen lokal dan tidak bertentangan dengan produk-produk regulasi di seluruh level.


7.2. Skenario II : Diversifikasi (Strategi ST)
a. Rencana Pengembangan :
1. Pengembangan sarana tranportasi khusus wisata; diarahkan untuk mengatasi persoalan aksesibilitas yang lemah sekaligus mengakomodasi jalur transportasi baik darat maupun laut khusus untuk kepentingan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.
2. Diversifikasi paket-paket dan model wisata; sebagai langkah untuk mengantisipasi meningkatnya pilihan terhadap berbagai model wisata alam dengan bentuk-bentuk atraksi yang beragam, disamping sebagai media untuk peningkatan kapasitas kawasan dalam konteks keunggulan komparatif.
3. Pengembangan kemitraan pengelolaan wisata alam dan wisata minat khusus; dengan melibatkan seluruh stakeholder terutama para pelaku usaha yang diharapkan berperan dalam kegiatan invetasi untuk pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.


b. Arahan Pengembangan :
1. Pengembangan sarana tranportasi khusus wisata; diharapkan dapat memanfaatkan jalur-jalur yang sudah ada atau pengembangan jalur alternatif. Untuk kepentingan peningkatan ekonomi masyarakat local maka penduduk sekitar atau dalam kawasanlah yang penting diakomodasi dalam pengembangan transportasi, terutama sebagai peluang lapangan kerja baru bagi mereka.
2. Diversifikasi paket-paket dan model wisata; tetap diarahkan sejalan dengan potensi sosial budaya masyarakat dan kebiasaan masyarakat adat di dalam maupun sekitar kawasan.
3. Pengembangan kemitraan pengelolaan wisata alam dan wisata minat khusus; diusahakan mendapat dukungan yang baik dari pemerintah daerah dalam kaitannya dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif dan kebijakan insentif terutama kepada kelompok pelaku usaha agar mendapat kemudahan dalam melakukan investasi.

7.3. Skenario III : Investasi (Strategi WO)
a. Rencana Pengembangan :
1. Pengembangan kelompok-kelompok pemandu wisata; yang dilengkapi dengan pengetahuan khusus tentang teknik-teknik pemanduan wisata dan penangkaran kupu-kupu. Diharapkan kelompok-kelompok ini
2. Penyusunan Data Base potensi wisata alam dan wisata minat khusus seperti penangkaran kupu-kupu untuk sebagai bahan dasar untuk kegiatan promosi dan menjadi basis data dalam penyusunan rencana tata ruang detail kawasan wisata alam.
3. Pengembangan infrastruktur wilayah dan infrastruktur pendukung untuk melengkapi eksistensi infrastruktur yang sudah disamping meningkatkan pelayanan yang dperikarakan akan meningkat pada saat pengembangan kawasan wisata dan penangkaran kupu-kupu
4. Penyusunan rencana detail tata ruang kawasan wisata/ penangkaran kupu-kupu sebagai acuan arah pengembangan kawasan termasuk penempatan infrastruktur pendukung sesuai daya dukung kawasan.


b. Arahan Pengembangan :
1. Pengembangan kelompok-kelompok pemandu wisata diharapkan melibatkan masyarakat lokal yang memahami benar tentang eksistensi sumberdaya hayati di lingkungan mereka.
2. Penyusunan Data Base perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk memulai pengembangan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.
3. Pengembangan infrastruktur wilayah dan infrastruktur pendukung dengan model pengembangan bangunan yang disesuaikan budaya lokal, setidaknya langkah untuk mempertahankan eksistensi symbol-simbol budaya lokal.
4. Penyusunan rencana detail tata ruang kawasan wisata/ penangkaran kupu-kupu yang diharapkan mengakomodasi kepentingan masyarakat local dan proses perencanaannya memegang prinsip partisipatif dengan mengakomodasi kelembagaan lokal dan takeholder lainnya.


7.4. Skenario IV : Pengembangan Kapasitas (Strategi WT)
a. Rencana Pengembangan :
1. Pengembangan pendidikan khusus wisata alam dan wisata minat khusus (penangkaran kupu-kupu); dilakukan untuk meningkatan kapasitas sumberdaya manusia di dalam dan sekitar kawasan dalam mendukung kegiatan wisata dan mempersiapkan sumberdaya manusia lokal untuk mengelola kawasan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu secara partisipatif.
2. Sosialisasi data base untuk masyarakat local dan stakeholder; penting dilakukan agar semua pihak baik masyarakat lokal maupun stakeholder lain mengetahui benar tentang potensi unggulan yang dapat dikembangkan pada kawasan wisata dan penangkaran kupu-kupu.
3. Sosialisasi rencana detail tata ruang kawasan wisata/penangkaran kupu-kupu; juga penting dilakukan agar semua pihak mengerti tentang peruntukan kawasan sesuai system zonasi yang akan dikembangkan dalam rencana detail tata ruang kawasan tersebut.


b. Arahan Pengembangan :
1. Pengembangan pendidikan khusus wisata alam dan wisata minat khusus (penangkaran kupu-kupu); diarahkan secara total kepada masyarakat dalam dan sekitar kawasan disamping masyarakat di kawasan lain yang akan dikembangkan kapasitasnya dalam pengelolaan kawasan wisata alam dan penangkaran kupu-kupu.
2. Sosialisasi data base untuk masyarakat local dan stakeholder; dilakukan dengan pendekatan partisipatoris dan pendekatan formal dengan koordinasi institusi terkait.
3. Sosialisasi rencana detail tata ruang kawasan wisata/penangkaran kupu-kupu; dilakukan secara formal baik untuk masyarakat local maupun untuk stakeholder kunci, termasuk pelaku usaha.

PENDEKATAN TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN DESA-DESA PESISIR DI PROVINSI MALUKU







(Region Typology Approach on Coastal Villages Development
in Maluku Province)


JAMES ABRAHAMSZ
Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura
Jl. Mr. Ch. Ssoplanit, Kampus - Poka Ambon. Telp. 0911 - 3302211


ABSTRACT : To develop the coastal villages, many approach were done. This study use the new one, typology approach which shown relationship between infrastructure existence with production capacity at coastal villages. Results of this study were shown, based on their characteristics, coastal villages were divide on four tipes there is core regions, resource frontier regions, depressed regions and slowly developing/stagnan regions. This results also give the development strategy formulations include: (i) Core regions have the priority to maintain the production capacities and infrastructure existence, and still go to equilibrium line, O-E. (ii) On resource frontier regions, infrastructure development in resources management as main priority. (iii) Depressed regions were really need production capacity increase through technology inovation, investation and human resource quality. (iv) On slowly developing/stagnating region, inovations subtitute (knowledge and technology) were priority on natural resource management, and can be pushed to increase economic activities through technology inovation and to pull development determinants like labor potential and investations to support natural resources management, effectivelly.

Key words : Region typology, development, coastal villages


PENDAHULUAN

Provinsi Maluku yang merupakan provinsi kepulauan menunjukkan karakteristik yang unik dengan luasan wilayah darat sebesar 54.185 Km2 atau sebesar 7,6 % dari total luas wilayah. Sisanya 92,4 % (658.294 Km2) merupakan wilayah laut yang cukup potensial peranannya bagi pembangunan provinsi ini. Potensi wilayah kepulauan ini ditunjukan juga dengan besarnya jumlah pulau yakni sebanyak 1.412 buah. Banyaknya jumlah pulau ini memberikan kontribusi yang kuat terhadap panjang garis pantai di Provinsi Maluku yang mencapai 10.662,92 Km (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005).
Distribusi jumlah pulau yang cukup banyak di Provinsi Maluku relatif berpengaruh terhadap akses terhadap pengembangan wilayah secara agregat termasuk masyarakatnya. Permasalahan umum yang dialami secara meluas di Indonesia seperti akses yang lemah, kurangnya kegiatan pembangunan, tingginya jumlah penduduk miskin dan persoalan lain seperti penurunan kualitas lingkungan, juga ditemukan di Provinsi Maluku. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena terisolasinya pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan dan di kawasan terluar, disamping tidak tersentuhnya kawasan-kawasan tersebut termasuk desa-desa pesisirnya oleh inovasi pengetahuan maupun teknologi.
Desa pesisir merupakan salah satu bagian wilayah pesisir yang sangat ter-marginal-kan, oleh karena itu desa-desa pesisir sangat potensial menjadi kantong-kantong kemiskinan. Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir menjadikan wilayah pesisir termasuk wilayah yang rawan di bidang sosial ekonomi. Kerawanan di bidang sosial ekonomi dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan yang lain (Rahmalia, 2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumah tangga nelayan di desa pesisir berakar dari faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.
Dalam kaitannya dengan karakteristik masyarakat pesisir, Satria (2002) menyatakan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat pesisir menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan mereka (nelayan) harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi demilikian menyebabkan elemen risikonya menjadi sangat tinggi.
Risiko yang sangat tinggi yang dihadapi masyarakat pesisir menempatkan mereka pada posisi sosial yang menarik untuk dicermati baik secara kultural maupun struktural, karena dikebanyakan wilayah masyarakat pesisir memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial masyarakat pesisir, disebabkan karena keterasingan dan keterisolasian. Kedua faktor ini mengakibatkan masyarakat pesisir tidak mengetahui lebih jauh pengetahuan dan teknologi baru yang telah dikembangkan. Interaksi dengan masyarakat lain juga menjadi sangat lemah.
Di sisi lain, pengembangan kawasan pesisir sebagai sentra industri, pemukiman, perhubungan, pariwisata, dan perikanan dan pengembangan lain menjadikan pesisir sebagai kawasan yang paling rentan secara ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik pemanfaatan ruang. Tingginya kegiatan pembangunan ekonomi kota yang menjangkau kawasan pesisir ini seharusnya membawa dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakatnya, namun perkembangan ini sering belum dirasakan merata oleh seluruh masyarakat, khususnya masyarakat desa pesisir. Hal ini antara lain disebabkan belum optimalnya kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang arahan pengembangan desa-desa pesisir. Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi keadaan di atas, paling tidak kebijakan yang mengarahkan desa-desa pesisir sebagai salah satu basis pembangunan wilayah. Konsekuensinya eksistensi infrastruktur (social and economic overhead capital) sebagai basis pelayanan wilayah secara internal maupun eksternal dapat mendorong dinamika perkembangan desa-desa pesisir.
Pentingnya eksistensi infrastruktur untuk kepentingan pelayanan pembangunan di wilayah pesisir merupakan bagian penting dalam penentuan tipologi desa-desa pesisir secara spasial. Hal inilah yang mendasari kajian tentang pendekatan tipologi wilayah dalam pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku. Pada bagian pertama kajian ini akan diberikan gambaran pesisir sebagai kawasan strategis secara kewilayahan, bagian kedua tipologi desa-desa pesisir, dan bagian ketiga strategi pengembangan desa-desa pesisir berdasarkan karakteristik tipologinya.


PEMBAHASAN

Pesisir Sebagai Kawasan Strategis
Dalam konteks kewilayahan, kawasan pesisir yang memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi disebut memiliki locational rent yang tinggi. Nilai ekonomi kawasan pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent), juga mengandung tiga unsur economic rent lainnya, yakni: ricardian rent, environmental rent dan social rent. Ricardian rent adalah rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai penggunaan, seperti kesesuaiannya (suitability) untuk berbagai aktivitas budidaya (tambak), kesesuaian fisik untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya. Environmental rent kawasan pesisir adalah nilai atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan lingkungan, sedangkan social rent menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai fungsi sosial. Di dalam mekanisme pasar, umumnya locational dan ricardian rent yang terinternalisasi dalam struktur nilai pasar, sehinggga berbagai fungsi lingkungan dan sosial kawasan pesisir banyak mengalami degradasi dan tidak mendapat penilaian semestinya.
Peranan strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya domestik yang terbaharui (domestic renewable resources), (2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward lingkage) dan ke depan (forward lingkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan, (3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah lokal/daerah (sektor pajak/retribusi) dan PDRB wilayah, (4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (inter and inter-regional interaction) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty), dan (5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus.
Untuk mencapai pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, salah satu aspek yang sangat penting adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan yang didapatkan justru dinikmati oleh penduduk di luar wilayah pesisir. Oleh karena itu kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir yang harus diterapkan adalah : (1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan; (2) Meningkatkan peran serta masyarakat pesisir dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan; dan (3) Memasyarakatkan pembangunan masyarakat pesisir yang berwawasan lingkungan yang diikuti oleh peningkatan pendapatan.


Tipologi Desa-Desa Pesisir
Determinan pembangunan yang sangat berfungsi dalam menentukan tipologi wilayah dan menjadi elemen utama dalam membangun keterkaitan internal dan eksternal meliputi determinan ekonomi, sosial dan politik (Stohr, 1975) meliputi :

1. Determinan ekonomi yang meliputi :
· Transfer faktor-faktor produksi antar wilayah, merubah kapasitas produksi tiap wilayah;
· Redistribusi permintaan yang efektif atau daya beli antar wilayah yang merubah kapasitas
pasarnya;
· Urbanization economies untuk penghematan melalui penggunaan bersama prasarana lokal;
· Linkage effect untuk penghematan karena ketergantungan terhadap berbagai kegiatan
ekonomi;
· Nilai tukar, untuk mengekspor barang-barang yang langka dan karena itu berharga tinggi,
serta mengimpor barang-barang yang banyak dan karena itu harganya rendah;
· Regional multiplier, tingkat dimana pendapatan wilayah meningkatkan regional saving,
meningkatkan investasi wilayah dan memperluas kapasitas produksi wilayah.
2. Determinan sosial :
· Kemampuan untuk mentransfer inovasi institusional ke suatu wilayah yang mempengaruhi
kapasitasnya untuk memobilisir dan menggunakan sumber daya dan untuk mengorganisir
pembangunan, yang juga disebut sebagai infrastruktur psiko-sosial dari suatu wilayah.
3. Determinan politik :
· Tingkat pengambilan keputusan secara otonom, antara lain : kapasitas untuk memobilisasi
dan menggunakan sumber daya dalam melayani setiap sasaran pembangunannya. Ini
tergantung pada distribusi kapasitas pengambilan keputusan antar tiap tingkatan wilayah.
Bila mengacu pada pola spasial determinan-determinan pembangunan yang mempengaruhi wilayah-wilayah pengembangan (determinan ekonomi, sosial dan politik), dapat dibedakan tipe-tipe wilayah itu menurut besaran relatif dan jenis spread dan backwash effect masing-masing (Stohr, 1975). Untuk kajian ini, klasifikasi tipologi wilayah yang diturunkan, didasarkan pada hubungan eksistensi infrastruktur pelayanan pembangunan di setiap wilayah dengan kapasitas wilayah yang ditunjukan dengan tingkat produksi sumberdaya pesisir dan laut.
Berdasarkan ukuran-ukuran yang ada, tipologi wilayah dapat dibedakan dengan asumsi bahwa fenomena spread dan backwash effect yang terjadi dalam tiap wilayah adalah berbeda karena kemampuannya dalam menarik determinan-determinan pembangunan dan pemancarannya ke dalam wilayah cenderung berbeda. Ukuran kapasitas menurut tingkat produksi sumberdaya pesisir dan laut digunakan sebagai alternatif dalam menjawab ketidakjelasan pengaruh ekonomi wilayah dalam menerangkan besaran kapasitas wilayah secara agregat. Sebagai contoh, banyak kegiatan industri yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan wilayah, namun pancarannya dipandang belum menjangkau keseluruhan wilayahnya, sehingga muncul kantong-kantong dalam kawasan yang masyarakatnya masih berada pada suatu garis kemiskinan. Munculnya kantong-kantong inipun tidak akan jelas terlihat bila tidak dilakukan pembedahan spasial menurut kapasitas masyarakat dalam melakukan kegiatan produksi di tiap wilayah.
Kapasitas yang dimaksudkan munjukan kondisi riil sosial ekonomi wilayah yang ditemukan dalam masyarakat lokal wilayah. Artinya bahwa tingkatan produksi yang berbeda juga memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antar desa wilayah dalam penarikan determinan-determinan pembangunan dan kemampuan untuk memancarkannya dalam wilayah.
Hasil yang ditunjukkan dari hubungan eksistensi infrastruktur pelayanan pembangunan dengan kapasitas produksi membedakan desa-desa pesisir atas 4 tipe. Ekspresi grafis yang diadopsi dari Stohr (1975) menjadi inspirasi untuk membagi desa-desa pesisir menjadi 4 tipe, yaitu : (a) wilayah inti (core region); (b) wilayah periferi aktif (resource frontier region); (c) wilayah periferi pasif (depressed region); dan (d) wilayah periferi netral (slowly developing/stagnating region), sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

1. Desa pesisir sebagai core region
Di Provinsi Maluku, desa-desa pesisir yang umumnya dekat dengan pusat-pusat pelayanan berfungsi sebagai core region, sedangkan desa-desa lain di sekitarnya periferinya. Core region yang teridentifikasi di Provinsi Maluku ialah desa-desa pesisir yang berada tepat atau sangat dekat dengan pusat-pusat pelayanan seperti pusat Provinsi Kota Ambon, pusat Kabupaten Namlea, Piru, Masohi, Bula, Tual, Dobo dan Saumlaki. Demikian juga pusat-pusat kecamatan yang terdistribusi pada 62 titik di seluruh kebupaten/kota. Hal ini sesuai dengan posisi pusat-pusat ini dalam wilayah sebagai pusat administratif dan pusat pelayanan kawasan.
Impuls-impuls pembangunan yang bekerja dengan baik meningkatkan peluang core region dalam menarik kegiatan ekonomi potensial atau paling tidak menarik potensi ekonomi wilayah periferi ke dalam wilayahnya. Kehadiran sektor-sektor informal di pusat-pusat pelayanan ini merupakan bentuk penarikan kegiatan ekonomi potensial dari wilayah lain. Potensi ekonomi wilayah yang ditarik ke pusat-pusat tersebut dan sekitarnya banyak terjadi melalui proses perdagangan hasil-hasil perikanan.
Stohr (1975) mengemukakan bahwa desa-desa pesisir sebagai core region praktis memiliki semua determinan pembangunan, dimana impuls-impuls pembangunan dari luar maupun dari dalam bekerja dengan baik. Oleh karenanya, jika dibandingkan dengan desa-desa lain maka pemilikan faktor produksi seperti modal dan teknologi relatif lebih tinggi di core region. Desa-desa ini jugalah yang harus berada pada posisi dimana pancaran faktor-faktor produksi mengalir ke wilayah lain.
Di sini terlihat juga bahwa sebenarnya keterkaitan antara desa-desa pesisir core region dengan wilayah lain telah terbentuk. Manfaat besar yang dimiliki oleh desa-desa yang termasuk dalam tipe core region antara lain :
(1) Terjadi permintaan yang tinggi dalam wilayah, baik terhadap faktor produksi maupun sumber daya pendukungnya dalam pemenuhan kegiatan produksi serta kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, sehingga gerakan perekonomian pda desa-desa inti ini menjadi lebih dinamis. Hal ini terbukti dari adanya aliran masuk sumber daya alam dan barang-barang kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.
(2) Sebagai konsekuensinya juga terjadi keuntungan urbanisasi karena mengalirnya tenaga kerja dengan berbagai tingkatan ketrampilan yang turut menggerakan pembangunan ekonomi dalam wilayah, terutama desa-desa pesisir lain di luar core region.
(3) Ada juga keterkaitan yang tercipta melalui aliran sumber daya alam atau komoditi, dan berpeluang menciptakan bentuk-bentuk yang menguntungkan dari perdagangan antar wilayah.
Dari aspek sosial kemasyarakatan, desa-desa pesisir yang termasuk dalam core region cenderung memiliki masyarakat yang majemuk dibandingkan desa-desa lain. Kondisi ini mendukung pembentukan struktur sosial wilayah dengan potensi inovasi yang tinggi. Dengan demikian penyesuaian masyarakat dalam menghadapi perubahan inovasi lebih tinggi. Ini juga bermanfaat bagi desa-desa tersebut dalam pembangunan wilayahnya. Dinamika yang ditunjukkan melalui karakteristik wilayahnya ini menempatkan core region sebagai wilayah yang memiliki tingkatan kapasitas produksi tertinggi.

2. Desa pesisir sebagai resource frontier region
Tipe pertama dari desa-desa periferi adalah periferi aktif yang dalam kajian disebut dengan resource frontier region. Desa-desa ini disebut sebagai wilayah yang memiliki peluang baru dalam mana pembangunannya didasarkan pada eksploitasi yang tinggi terhadap sumber daya alamnya. Perbedaan dalam perkembangan kegiatan-kegiatan produktif pada desa-desa ini memposisikannya sebagai wilayah yang terdepan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Fenomena tersebut menjadi menarik bila ditelusuri menurut spread effect yang terjadi dalam wilayah. Ada indikasi bahwa keuntungan aglomerasi tidak terjadi secara merata dalam wilayah ini, karena tendensi fungsional pusat untuk memberikan pelayanan dalam wilayah hanya terkonsentrasi pada daerah pusat dan desa-desa yang dekat pusat. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena ini, salah satunya adalah kuat-lemahnya interaksi yang terjadi antara desa-desa hinterland dengan pusatnya.
Dalam hubungannya dengan fenomena tersebut, dapat dikemukakan bahwa desa-desa ini memiliki kemampuan untuk menarik faktor-faktor produksi sebagai penggerak determinan pembangunan seperti tenaga kerja, modal, dan teknologi. Ada dua hal yang muncul sebagai dampak dari tarikan-tarikan ini, yaitu :
· Penarikan tenaga kerja dari luar wilayah tidak akan membuka peluang bagi tenaga kerja lokal untuk mengisi peluang kerja dalam kegiatan ekonomi produktif. Namun di sisi lain kehadiran tenaga kerja juga membuka peluang baru bagi masyarakat untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan terhadap produksi wilayah dan memperkuat struktur sosial masyarakat.
· Penarikan modal dan teknologi merupakan kekuatan untuk meningkatkan inovasionalnya. Belum lagi ditambah dengan semakin fleksibelnya struktur sosial wilayah sebagai kekuatan dalam penyerapan impuls-impuls inovasional.
Secara teoritis, desa-desa periferi aktif ini tergantung terutama pada kekuatan pembangunan dari luar. Untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunannya, wilayah ini memiliki kemampuan untuk menahan pengembalian faktor yang cukup (melalui upah) untuk meningkatkan permintaan internal terhadap suplai-suplai yang mendasar dalam melayani wilayahnya serta memadukannya dalam gerakan proses pengembangan dari luar. Fenomena menarik untuk Provinsi Maluku ialah bahwa desa-desa periferi aktif ini lebih menunjukan adanya proporsi kegiatan produksi yang tinggi pada kondisi dimana eksistensi infrastruktur pelayanan yang kurang. Kondisi demikian ditemukan pada masayarakat di pulau-pulau kecil dan pesisir yang umumnya merupakan pendatang atau bukan masyarakat asli Maluku seperti ditemukan di Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Bagian Utara Pulau Buru, dan beberapa pulau kecil lainnya di Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat.

3. Desa Pesisir sebagai depressed region
Desa-desa pesisir yang termasuk dalam tipe depressed region berada pada kondisi dimana perekonomiannya tidak dapat bergerak secara optimal karena terlalu banyak penarikan dari luar terhadap determinan pembangunan tanpa diimbangi penarikannya ke dalam. Hasil produksi primernya (sumberdaya alam pesisir dan laut) tidak mengalami sentuhan inovasi yang berarti dan karenanya aliran produksi ke luar sangat kurang. Banyak ditemukan aliran sumberdaya alam yang ke luar hanya menjangkau wilayah-wilayah terdekat, dan produksi perikanan yang dihasilkan tidak mengalami proses pengolahan yang berarti. Kalau pun ada, hanya terbatas pada skala usaha rumah tangga dan sangat minim dukungan subtitusi teknologi dari luar.
Sebagai dampak dari fenomena di atas, cenderung melemah permintaan produksi dari luar wilayah. Walaupun sebenarnya desa-desa pesisir periferi pasif ini memiliki peluang interaksi yang tinggi dengan basis wilayah yang lebih besar, namun nilai tukarnya cenderung negatif. Spread effect yang terjadi melalui aliran masuk impuls-impuls teknologi dan inovasi sosial sangat lemah. Determinan-determinan pembangunan yang sempat ikut tertarik masuk lebih disebabkan mengalirnya penduduk ke dalam wilayah. Dan dengan demikian, pemilikan faktor-faktor produksi ekonomi sangat kurang dan struktur sosial yang dimiliki cenderung kaku. Hal yang terakhir ini menyatakan kondisi riil wilayah yang berada pada interaksi sosial internal dan eksternal kawasan yang lemah. Salah satunya karena hubungan-hubungan melalui aktifitas ekonomi terlokalisir di tingkat desa atau di hinterland saja.
Pengaruh penduduk di tingkat lokal sangat besar terhadap kapasitas ekonomi yang karenanya mengkondisikan rata-rata pendapatan penduduk yang rendah sehingga tingkat permintaannya secara efektif juga menjadi lemah. Untuk keberlanjutan pembangunan internalnya, fenomena ini sangat berdampak pada dinamika perekonomiannya. Eksistensi infrastrruktur terlalu besar dibandingkan kemampuan produksinya, dan karena pendapatannya yang rendah, maka daya belinya secara agregat menjadi lemah untuk menunjang pembangunan internalnya. Diduga kehadiran infrastruktur wilayah tidak cenderung meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat lokal, tetapi berorientasi pada dan mendukung kegiatan investasi besar dari masyarakat di luar wilayah.

4. Desa pesisir sebagai slowly developing/stagnan region
Sebagai konsekuensi rendahnya kapasitas produksi masyarakat dalam wilayah dan rendahnya eksistensi infrastruktur pelayanan dalam menggerakan perekonomiannya, maka desa-desa pesisir ini masuk dalam klasifikasi tipe wilayah periferi netral (slowly developing/stagnan region). Wilayah ini secara agregat memiliki kesulitan dalam perekonomiannya karena penarikan determinan pembangunan dari luar terlalu kuat, terutama SDA-nya, walaupun sebenarnya terdapat juga penarikan ke dalam dari determinan-determinan tersebut. Disebutkan agregat bermakna : secara keseluruhan desa-desa pesisir ini berada pada posisi yang lemah untuk bersaing dengan desa-desa lain. Diduga daya beli yang lemah ditemukan hampir pada seluruh hinterland karena masih kuatnya perilaku subsistensi masyarakat.
Internal spread effect yang diharapkan bisa menggerakkan pembangunan wilayah, tidak jalan dengan baik karena lebih banyak fenomena backwash effect yang berperan. Hinterland dengan potensi SDM-nya tidak termanfaatkan penuh untuk kegiatan-kegiatan tersebut ekonomi produktif. Mereka ditemukan banyak berada pada kelas pekerja yang menurut ukuran ekonominya berpendapatan rendah. Wilayah ini memiliki sumber daya yang terbatas sementara penduduknya hanya terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang berbasis perikanan tradisional.
Berdasarkan karakteristik tersebut, wilayah ini cenderung memiliki perkembangan pembangunan yang lambat, bahkan sering stagnan karena kegiatan ekonomi subsisten lebih dominan di sana. Ketergantungan mereka yang besar terhadap nilai sumber daya yang dimiliki tanpa sentuhan inovasi serta jarak terhadap pasar yang cukup jauh menjadi penyebab utama stagnasi dan lambatnya gerak pembangunan.

Strategi Pengembangan Desa-Desa Pesisir Berdasarkan Karakteristik Tipologi
Kajian karakteristik tipologi wilayah ini menyatakan bahwa perbedaan tipe desa-desa pesisir di Maluku masih ditemukan sebagai akibat dari tingkatan kapasitas produksi sumberdaya pesisir dan laut yang relatif berbeda, juga eksistensi infrastruktur dalam wilayah. Wilayah periferi aktif memiliki kesenjangan kapasitas produksi yang besar, sedangkan wilayah inti dan periferi netral berada pada suatu posisi keseimbangan ekonomi yang ditunjukkan oleh garis keseimbangan ekonomi O-E (Gambar 2).
Walaupun desa-desa yang termasuk dalam slowly developing/stagnating region memiliki pembangunan yang lambat dan sering stagnan, namun dua wilayah periferi lain (resource frontier region dan depressed region) lebih membutuhkan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Sasarannya adalah mendorong kedua wilayah ini untuk masuk mendekati garis keseimbangan ekonomi (O-E). Model yang direkomendasikan dalam pengembangan desa-desa pesisir sebagaimana tergambar pada Gambar 2 memberikan bukti bahwa strategi yang dikembangkan akan cukup variatif sesuai dengan tipe-tipe desa pesisir.
Core region mendapat prioritas untuk tetap mempertahankan kapasitas produksi dan eksistensi infrastruktur, sambil menggerakan kegiatan pembangunannya mengarah pada garis keseimbangan O-E (i). Untuk resource frontier region, pengembangan infrastruktur dalam pengelolaan sumber-sumber menjadi prioritas utama (ii). Pada desa-desa pesisir dengan tipe depressed region sangat membutuhkan peningkatan kapasitas produksi melalui aliran inovasi teknologi, investasi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya (iii). Sedangkan pada slowly developing/stagnating region, subtitusi inovasi (pengetahuan dan teknologi) menjadi prioritasnya dalam pengelolaan sumber-sumber, dan harus mampu didorong untuk meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah melalui sentuhan inovasi teknologi serta menarik determinan pembangunan seperti potensi penduduk (tenaga kerja) dan investasi dalam mengefektifkan pengelolaan sumber-sumber dalam wilayah (iv).


PENUTUP

Kajian ini menemukan adanya perbedaan tipologi desa-desa pesisir, dimana dari empat tipe wilayah yang dibedakan berdasarkan eksistensi infrastruktur pelayanan dan kapasitas produksi sumber daya pesisir dan laut terdapat perbedaan yang tajam pada kedua faktor yang dikaji. Hasil ini menemukan adanya model pengembangan desa-desa pesisir dengan rumusan empat strategi umum pengembangan. Paling tidak temuan ini menjadi bagian penting untuk dijadikan model dan konsep dasar dalam penentuan kebijakan pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1985. Data dan Informasi Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Ambon.
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita, Jakarta. 159 halaman.
Rahmalia, E. 2003. Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. 130 halaman.
Stohr, W., 1975. Regional Development; Experiences and Prospects in Latin America. Vol : 3. United Nations Research Institute For Social Development. Geneva. 186 pp.