Jumat, 09 November 2007

PENDEKATAN TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN DESA-DESA PESISIR DI PROVINSI MALUKU







(Region Typology Approach on Coastal Villages Development
in Maluku Province)


JAMES ABRAHAMSZ
Program Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura
Jl. Mr. Ch. Ssoplanit, Kampus - Poka Ambon. Telp. 0911 - 3302211


ABSTRACT : To develop the coastal villages, many approach were done. This study use the new one, typology approach which shown relationship between infrastructure existence with production capacity at coastal villages. Results of this study were shown, based on their characteristics, coastal villages were divide on four tipes there is core regions, resource frontier regions, depressed regions and slowly developing/stagnan regions. This results also give the development strategy formulations include: (i) Core regions have the priority to maintain the production capacities and infrastructure existence, and still go to equilibrium line, O-E. (ii) On resource frontier regions, infrastructure development in resources management as main priority. (iii) Depressed regions were really need production capacity increase through technology inovation, investation and human resource quality. (iv) On slowly developing/stagnating region, inovations subtitute (knowledge and technology) were priority on natural resource management, and can be pushed to increase economic activities through technology inovation and to pull development determinants like labor potential and investations to support natural resources management, effectivelly.

Key words : Region typology, development, coastal villages


PENDAHULUAN

Provinsi Maluku yang merupakan provinsi kepulauan menunjukkan karakteristik yang unik dengan luasan wilayah darat sebesar 54.185 Km2 atau sebesar 7,6 % dari total luas wilayah. Sisanya 92,4 % (658.294 Km2) merupakan wilayah laut yang cukup potensial peranannya bagi pembangunan provinsi ini. Potensi wilayah kepulauan ini ditunjukan juga dengan besarnya jumlah pulau yakni sebanyak 1.412 buah. Banyaknya jumlah pulau ini memberikan kontribusi yang kuat terhadap panjang garis pantai di Provinsi Maluku yang mencapai 10.662,92 Km (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2005).
Distribusi jumlah pulau yang cukup banyak di Provinsi Maluku relatif berpengaruh terhadap akses terhadap pengembangan wilayah secara agregat termasuk masyarakatnya. Permasalahan umum yang dialami secara meluas di Indonesia seperti akses yang lemah, kurangnya kegiatan pembangunan, tingginya jumlah penduduk miskin dan persoalan lain seperti penurunan kualitas lingkungan, juga ditemukan di Provinsi Maluku. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena terisolasinya pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan dan di kawasan terluar, disamping tidak tersentuhnya kawasan-kawasan tersebut termasuk desa-desa pesisirnya oleh inovasi pengetahuan maupun teknologi.
Desa pesisir merupakan salah satu bagian wilayah pesisir yang sangat ter-marginal-kan, oleh karena itu desa-desa pesisir sangat potensial menjadi kantong-kantong kemiskinan. Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir menjadikan wilayah pesisir termasuk wilayah yang rawan di bidang sosial ekonomi. Kerawanan di bidang sosial ekonomi dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan yang lain (Rahmalia, 2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumah tangga nelayan di desa pesisir berakar dari faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.
Dalam kaitannya dengan karakteristik masyarakat pesisir, Satria (2002) menyatakan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat pesisir menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan mereka (nelayan) harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi demilikian menyebabkan elemen risikonya menjadi sangat tinggi.
Risiko yang sangat tinggi yang dihadapi masyarakat pesisir menempatkan mereka pada posisi sosial yang menarik untuk dicermati baik secara kultural maupun struktural, karena dikebanyakan wilayah masyarakat pesisir memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial masyarakat pesisir, disebabkan karena keterasingan dan keterisolasian. Kedua faktor ini mengakibatkan masyarakat pesisir tidak mengetahui lebih jauh pengetahuan dan teknologi baru yang telah dikembangkan. Interaksi dengan masyarakat lain juga menjadi sangat lemah.
Di sisi lain, pengembangan kawasan pesisir sebagai sentra industri, pemukiman, perhubungan, pariwisata, dan perikanan dan pengembangan lain menjadikan pesisir sebagai kawasan yang paling rentan secara ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik pemanfaatan ruang. Tingginya kegiatan pembangunan ekonomi kota yang menjangkau kawasan pesisir ini seharusnya membawa dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakatnya, namun perkembangan ini sering belum dirasakan merata oleh seluruh masyarakat, khususnya masyarakat desa pesisir. Hal ini antara lain disebabkan belum optimalnya kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang arahan pengembangan desa-desa pesisir. Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi keadaan di atas, paling tidak kebijakan yang mengarahkan desa-desa pesisir sebagai salah satu basis pembangunan wilayah. Konsekuensinya eksistensi infrastruktur (social and economic overhead capital) sebagai basis pelayanan wilayah secara internal maupun eksternal dapat mendorong dinamika perkembangan desa-desa pesisir.
Pentingnya eksistensi infrastruktur untuk kepentingan pelayanan pembangunan di wilayah pesisir merupakan bagian penting dalam penentuan tipologi desa-desa pesisir secara spasial. Hal inilah yang mendasari kajian tentang pendekatan tipologi wilayah dalam pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku. Pada bagian pertama kajian ini akan diberikan gambaran pesisir sebagai kawasan strategis secara kewilayahan, bagian kedua tipologi desa-desa pesisir, dan bagian ketiga strategi pengembangan desa-desa pesisir berdasarkan karakteristik tipologinya.


PEMBAHASAN

Pesisir Sebagai Kawasan Strategis
Dalam konteks kewilayahan, kawasan pesisir yang memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi disebut memiliki locational rent yang tinggi. Nilai ekonomi kawasan pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent), juga mengandung tiga unsur economic rent lainnya, yakni: ricardian rent, environmental rent dan social rent. Ricardian rent adalah rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai penggunaan, seperti kesesuaiannya (suitability) untuk berbagai aktivitas budidaya (tambak), kesesuaian fisik untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya. Environmental rent kawasan pesisir adalah nilai atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan lingkungan, sedangkan social rent menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai fungsi sosial. Di dalam mekanisme pasar, umumnya locational dan ricardian rent yang terinternalisasi dalam struktur nilai pasar, sehinggga berbagai fungsi lingkungan dan sosial kawasan pesisir banyak mengalami degradasi dan tidak mendapat penilaian semestinya.
Peranan strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: (1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya domestik yang terbaharui (domestic renewable resources), (2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward lingkage) dan ke depan (forward lingkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang bersangkutan secara signifikan sehingga perkembangan sektor basis dapat menimbulkan efek ganda (multiplier effect) terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di daerah yang bersangkutan, (3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah lokal/daerah (sektor pajak/retribusi) dan PDRB wilayah, (4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (inter and inter-regional interaction) akan lebih menjamin aliran alokasi dan distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan ketidakpastian (uncertainty), dan (5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya koreksi dan peningkatan secara terus menerus.
Untuk mencapai pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, salah satu aspek yang sangat penting adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan yang didapatkan justru dinikmati oleh penduduk di luar wilayah pesisir. Oleh karena itu kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir yang harus diterapkan adalah : (1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan; (2) Meningkatkan peran serta masyarakat pesisir dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan; dan (3) Memasyarakatkan pembangunan masyarakat pesisir yang berwawasan lingkungan yang diikuti oleh peningkatan pendapatan.


Tipologi Desa-Desa Pesisir
Determinan pembangunan yang sangat berfungsi dalam menentukan tipologi wilayah dan menjadi elemen utama dalam membangun keterkaitan internal dan eksternal meliputi determinan ekonomi, sosial dan politik (Stohr, 1975) meliputi :

1. Determinan ekonomi yang meliputi :
· Transfer faktor-faktor produksi antar wilayah, merubah kapasitas produksi tiap wilayah;
· Redistribusi permintaan yang efektif atau daya beli antar wilayah yang merubah kapasitas
pasarnya;
· Urbanization economies untuk penghematan melalui penggunaan bersama prasarana lokal;
· Linkage effect untuk penghematan karena ketergantungan terhadap berbagai kegiatan
ekonomi;
· Nilai tukar, untuk mengekspor barang-barang yang langka dan karena itu berharga tinggi,
serta mengimpor barang-barang yang banyak dan karena itu harganya rendah;
· Regional multiplier, tingkat dimana pendapatan wilayah meningkatkan regional saving,
meningkatkan investasi wilayah dan memperluas kapasitas produksi wilayah.
2. Determinan sosial :
· Kemampuan untuk mentransfer inovasi institusional ke suatu wilayah yang mempengaruhi
kapasitasnya untuk memobilisir dan menggunakan sumber daya dan untuk mengorganisir
pembangunan, yang juga disebut sebagai infrastruktur psiko-sosial dari suatu wilayah.
3. Determinan politik :
· Tingkat pengambilan keputusan secara otonom, antara lain : kapasitas untuk memobilisasi
dan menggunakan sumber daya dalam melayani setiap sasaran pembangunannya. Ini
tergantung pada distribusi kapasitas pengambilan keputusan antar tiap tingkatan wilayah.
Bila mengacu pada pola spasial determinan-determinan pembangunan yang mempengaruhi wilayah-wilayah pengembangan (determinan ekonomi, sosial dan politik), dapat dibedakan tipe-tipe wilayah itu menurut besaran relatif dan jenis spread dan backwash effect masing-masing (Stohr, 1975). Untuk kajian ini, klasifikasi tipologi wilayah yang diturunkan, didasarkan pada hubungan eksistensi infrastruktur pelayanan pembangunan di setiap wilayah dengan kapasitas wilayah yang ditunjukan dengan tingkat produksi sumberdaya pesisir dan laut.
Berdasarkan ukuran-ukuran yang ada, tipologi wilayah dapat dibedakan dengan asumsi bahwa fenomena spread dan backwash effect yang terjadi dalam tiap wilayah adalah berbeda karena kemampuannya dalam menarik determinan-determinan pembangunan dan pemancarannya ke dalam wilayah cenderung berbeda. Ukuran kapasitas menurut tingkat produksi sumberdaya pesisir dan laut digunakan sebagai alternatif dalam menjawab ketidakjelasan pengaruh ekonomi wilayah dalam menerangkan besaran kapasitas wilayah secara agregat. Sebagai contoh, banyak kegiatan industri yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan wilayah, namun pancarannya dipandang belum menjangkau keseluruhan wilayahnya, sehingga muncul kantong-kantong dalam kawasan yang masyarakatnya masih berada pada suatu garis kemiskinan. Munculnya kantong-kantong inipun tidak akan jelas terlihat bila tidak dilakukan pembedahan spasial menurut kapasitas masyarakat dalam melakukan kegiatan produksi di tiap wilayah.
Kapasitas yang dimaksudkan munjukan kondisi riil sosial ekonomi wilayah yang ditemukan dalam masyarakat lokal wilayah. Artinya bahwa tingkatan produksi yang berbeda juga memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antar desa wilayah dalam penarikan determinan-determinan pembangunan dan kemampuan untuk memancarkannya dalam wilayah.
Hasil yang ditunjukkan dari hubungan eksistensi infrastruktur pelayanan pembangunan dengan kapasitas produksi membedakan desa-desa pesisir atas 4 tipe. Ekspresi grafis yang diadopsi dari Stohr (1975) menjadi inspirasi untuk membagi desa-desa pesisir menjadi 4 tipe, yaitu : (a) wilayah inti (core region); (b) wilayah periferi aktif (resource frontier region); (c) wilayah periferi pasif (depressed region); dan (d) wilayah periferi netral (slowly developing/stagnating region), sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

1. Desa pesisir sebagai core region
Di Provinsi Maluku, desa-desa pesisir yang umumnya dekat dengan pusat-pusat pelayanan berfungsi sebagai core region, sedangkan desa-desa lain di sekitarnya periferinya. Core region yang teridentifikasi di Provinsi Maluku ialah desa-desa pesisir yang berada tepat atau sangat dekat dengan pusat-pusat pelayanan seperti pusat Provinsi Kota Ambon, pusat Kabupaten Namlea, Piru, Masohi, Bula, Tual, Dobo dan Saumlaki. Demikian juga pusat-pusat kecamatan yang terdistribusi pada 62 titik di seluruh kebupaten/kota. Hal ini sesuai dengan posisi pusat-pusat ini dalam wilayah sebagai pusat administratif dan pusat pelayanan kawasan.
Impuls-impuls pembangunan yang bekerja dengan baik meningkatkan peluang core region dalam menarik kegiatan ekonomi potensial atau paling tidak menarik potensi ekonomi wilayah periferi ke dalam wilayahnya. Kehadiran sektor-sektor informal di pusat-pusat pelayanan ini merupakan bentuk penarikan kegiatan ekonomi potensial dari wilayah lain. Potensi ekonomi wilayah yang ditarik ke pusat-pusat tersebut dan sekitarnya banyak terjadi melalui proses perdagangan hasil-hasil perikanan.
Stohr (1975) mengemukakan bahwa desa-desa pesisir sebagai core region praktis memiliki semua determinan pembangunan, dimana impuls-impuls pembangunan dari luar maupun dari dalam bekerja dengan baik. Oleh karenanya, jika dibandingkan dengan desa-desa lain maka pemilikan faktor produksi seperti modal dan teknologi relatif lebih tinggi di core region. Desa-desa ini jugalah yang harus berada pada posisi dimana pancaran faktor-faktor produksi mengalir ke wilayah lain.
Di sini terlihat juga bahwa sebenarnya keterkaitan antara desa-desa pesisir core region dengan wilayah lain telah terbentuk. Manfaat besar yang dimiliki oleh desa-desa yang termasuk dalam tipe core region antara lain :
(1) Terjadi permintaan yang tinggi dalam wilayah, baik terhadap faktor produksi maupun sumber daya pendukungnya dalam pemenuhan kegiatan produksi serta kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, sehingga gerakan perekonomian pda desa-desa inti ini menjadi lebih dinamis. Hal ini terbukti dari adanya aliran masuk sumber daya alam dan barang-barang kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.
(2) Sebagai konsekuensinya juga terjadi keuntungan urbanisasi karena mengalirnya tenaga kerja dengan berbagai tingkatan ketrampilan yang turut menggerakan pembangunan ekonomi dalam wilayah, terutama desa-desa pesisir lain di luar core region.
(3) Ada juga keterkaitan yang tercipta melalui aliran sumber daya alam atau komoditi, dan berpeluang menciptakan bentuk-bentuk yang menguntungkan dari perdagangan antar wilayah.
Dari aspek sosial kemasyarakatan, desa-desa pesisir yang termasuk dalam core region cenderung memiliki masyarakat yang majemuk dibandingkan desa-desa lain. Kondisi ini mendukung pembentukan struktur sosial wilayah dengan potensi inovasi yang tinggi. Dengan demikian penyesuaian masyarakat dalam menghadapi perubahan inovasi lebih tinggi. Ini juga bermanfaat bagi desa-desa tersebut dalam pembangunan wilayahnya. Dinamika yang ditunjukkan melalui karakteristik wilayahnya ini menempatkan core region sebagai wilayah yang memiliki tingkatan kapasitas produksi tertinggi.

2. Desa pesisir sebagai resource frontier region
Tipe pertama dari desa-desa periferi adalah periferi aktif yang dalam kajian disebut dengan resource frontier region. Desa-desa ini disebut sebagai wilayah yang memiliki peluang baru dalam mana pembangunannya didasarkan pada eksploitasi yang tinggi terhadap sumber daya alamnya. Perbedaan dalam perkembangan kegiatan-kegiatan produktif pada desa-desa ini memposisikannya sebagai wilayah yang terdepan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Fenomena tersebut menjadi menarik bila ditelusuri menurut spread effect yang terjadi dalam wilayah. Ada indikasi bahwa keuntungan aglomerasi tidak terjadi secara merata dalam wilayah ini, karena tendensi fungsional pusat untuk memberikan pelayanan dalam wilayah hanya terkonsentrasi pada daerah pusat dan desa-desa yang dekat pusat. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena ini, salah satunya adalah kuat-lemahnya interaksi yang terjadi antara desa-desa hinterland dengan pusatnya.
Dalam hubungannya dengan fenomena tersebut, dapat dikemukakan bahwa desa-desa ini memiliki kemampuan untuk menarik faktor-faktor produksi sebagai penggerak determinan pembangunan seperti tenaga kerja, modal, dan teknologi. Ada dua hal yang muncul sebagai dampak dari tarikan-tarikan ini, yaitu :
· Penarikan tenaga kerja dari luar wilayah tidak akan membuka peluang bagi tenaga kerja lokal untuk mengisi peluang kerja dalam kegiatan ekonomi produktif. Namun di sisi lain kehadiran tenaga kerja juga membuka peluang baru bagi masyarakat untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan terhadap produksi wilayah dan memperkuat struktur sosial masyarakat.
· Penarikan modal dan teknologi merupakan kekuatan untuk meningkatkan inovasionalnya. Belum lagi ditambah dengan semakin fleksibelnya struktur sosial wilayah sebagai kekuatan dalam penyerapan impuls-impuls inovasional.
Secara teoritis, desa-desa periferi aktif ini tergantung terutama pada kekuatan pembangunan dari luar. Untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunannya, wilayah ini memiliki kemampuan untuk menahan pengembalian faktor yang cukup (melalui upah) untuk meningkatkan permintaan internal terhadap suplai-suplai yang mendasar dalam melayani wilayahnya serta memadukannya dalam gerakan proses pengembangan dari luar. Fenomena menarik untuk Provinsi Maluku ialah bahwa desa-desa periferi aktif ini lebih menunjukan adanya proporsi kegiatan produksi yang tinggi pada kondisi dimana eksistensi infrastruktur pelayanan yang kurang. Kondisi demikian ditemukan pada masayarakat di pulau-pulau kecil dan pesisir yang umumnya merupakan pendatang atau bukan masyarakat asli Maluku seperti ditemukan di Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Bagian Utara Pulau Buru, dan beberapa pulau kecil lainnya di Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat.

3. Desa Pesisir sebagai depressed region
Desa-desa pesisir yang termasuk dalam tipe depressed region berada pada kondisi dimana perekonomiannya tidak dapat bergerak secara optimal karena terlalu banyak penarikan dari luar terhadap determinan pembangunan tanpa diimbangi penarikannya ke dalam. Hasil produksi primernya (sumberdaya alam pesisir dan laut) tidak mengalami sentuhan inovasi yang berarti dan karenanya aliran produksi ke luar sangat kurang. Banyak ditemukan aliran sumberdaya alam yang ke luar hanya menjangkau wilayah-wilayah terdekat, dan produksi perikanan yang dihasilkan tidak mengalami proses pengolahan yang berarti. Kalau pun ada, hanya terbatas pada skala usaha rumah tangga dan sangat minim dukungan subtitusi teknologi dari luar.
Sebagai dampak dari fenomena di atas, cenderung melemah permintaan produksi dari luar wilayah. Walaupun sebenarnya desa-desa pesisir periferi pasif ini memiliki peluang interaksi yang tinggi dengan basis wilayah yang lebih besar, namun nilai tukarnya cenderung negatif. Spread effect yang terjadi melalui aliran masuk impuls-impuls teknologi dan inovasi sosial sangat lemah. Determinan-determinan pembangunan yang sempat ikut tertarik masuk lebih disebabkan mengalirnya penduduk ke dalam wilayah. Dan dengan demikian, pemilikan faktor-faktor produksi ekonomi sangat kurang dan struktur sosial yang dimiliki cenderung kaku. Hal yang terakhir ini menyatakan kondisi riil wilayah yang berada pada interaksi sosial internal dan eksternal kawasan yang lemah. Salah satunya karena hubungan-hubungan melalui aktifitas ekonomi terlokalisir di tingkat desa atau di hinterland saja.
Pengaruh penduduk di tingkat lokal sangat besar terhadap kapasitas ekonomi yang karenanya mengkondisikan rata-rata pendapatan penduduk yang rendah sehingga tingkat permintaannya secara efektif juga menjadi lemah. Untuk keberlanjutan pembangunan internalnya, fenomena ini sangat berdampak pada dinamika perekonomiannya. Eksistensi infrastrruktur terlalu besar dibandingkan kemampuan produksinya, dan karena pendapatannya yang rendah, maka daya belinya secara agregat menjadi lemah untuk menunjang pembangunan internalnya. Diduga kehadiran infrastruktur wilayah tidak cenderung meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat lokal, tetapi berorientasi pada dan mendukung kegiatan investasi besar dari masyarakat di luar wilayah.

4. Desa pesisir sebagai slowly developing/stagnan region
Sebagai konsekuensi rendahnya kapasitas produksi masyarakat dalam wilayah dan rendahnya eksistensi infrastruktur pelayanan dalam menggerakan perekonomiannya, maka desa-desa pesisir ini masuk dalam klasifikasi tipe wilayah periferi netral (slowly developing/stagnan region). Wilayah ini secara agregat memiliki kesulitan dalam perekonomiannya karena penarikan determinan pembangunan dari luar terlalu kuat, terutama SDA-nya, walaupun sebenarnya terdapat juga penarikan ke dalam dari determinan-determinan tersebut. Disebutkan agregat bermakna : secara keseluruhan desa-desa pesisir ini berada pada posisi yang lemah untuk bersaing dengan desa-desa lain. Diduga daya beli yang lemah ditemukan hampir pada seluruh hinterland karena masih kuatnya perilaku subsistensi masyarakat.
Internal spread effect yang diharapkan bisa menggerakkan pembangunan wilayah, tidak jalan dengan baik karena lebih banyak fenomena backwash effect yang berperan. Hinterland dengan potensi SDM-nya tidak termanfaatkan penuh untuk kegiatan-kegiatan tersebut ekonomi produktif. Mereka ditemukan banyak berada pada kelas pekerja yang menurut ukuran ekonominya berpendapatan rendah. Wilayah ini memiliki sumber daya yang terbatas sementara penduduknya hanya terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang berbasis perikanan tradisional.
Berdasarkan karakteristik tersebut, wilayah ini cenderung memiliki perkembangan pembangunan yang lambat, bahkan sering stagnan karena kegiatan ekonomi subsisten lebih dominan di sana. Ketergantungan mereka yang besar terhadap nilai sumber daya yang dimiliki tanpa sentuhan inovasi serta jarak terhadap pasar yang cukup jauh menjadi penyebab utama stagnasi dan lambatnya gerak pembangunan.

Strategi Pengembangan Desa-Desa Pesisir Berdasarkan Karakteristik Tipologi
Kajian karakteristik tipologi wilayah ini menyatakan bahwa perbedaan tipe desa-desa pesisir di Maluku masih ditemukan sebagai akibat dari tingkatan kapasitas produksi sumberdaya pesisir dan laut yang relatif berbeda, juga eksistensi infrastruktur dalam wilayah. Wilayah periferi aktif memiliki kesenjangan kapasitas produksi yang besar, sedangkan wilayah inti dan periferi netral berada pada suatu posisi keseimbangan ekonomi yang ditunjukkan oleh garis keseimbangan ekonomi O-E (Gambar 2).
Walaupun desa-desa yang termasuk dalam slowly developing/stagnating region memiliki pembangunan yang lambat dan sering stagnan, namun dua wilayah periferi lain (resource frontier region dan depressed region) lebih membutuhkan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Sasarannya adalah mendorong kedua wilayah ini untuk masuk mendekati garis keseimbangan ekonomi (O-E). Model yang direkomendasikan dalam pengembangan desa-desa pesisir sebagaimana tergambar pada Gambar 2 memberikan bukti bahwa strategi yang dikembangkan akan cukup variatif sesuai dengan tipe-tipe desa pesisir.
Core region mendapat prioritas untuk tetap mempertahankan kapasitas produksi dan eksistensi infrastruktur, sambil menggerakan kegiatan pembangunannya mengarah pada garis keseimbangan O-E (i). Untuk resource frontier region, pengembangan infrastruktur dalam pengelolaan sumber-sumber menjadi prioritas utama (ii). Pada desa-desa pesisir dengan tipe depressed region sangat membutuhkan peningkatan kapasitas produksi melalui aliran inovasi teknologi, investasi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya (iii). Sedangkan pada slowly developing/stagnating region, subtitusi inovasi (pengetahuan dan teknologi) menjadi prioritasnya dalam pengelolaan sumber-sumber, dan harus mampu didorong untuk meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah melalui sentuhan inovasi teknologi serta menarik determinan pembangunan seperti potensi penduduk (tenaga kerja) dan investasi dalam mengefektifkan pengelolaan sumber-sumber dalam wilayah (iv).


PENUTUP

Kajian ini menemukan adanya perbedaan tipologi desa-desa pesisir, dimana dari empat tipe wilayah yang dibedakan berdasarkan eksistensi infrastruktur pelayanan dan kapasitas produksi sumber daya pesisir dan laut terdapat perbedaan yang tajam pada kedua faktor yang dikaji. Hasil ini menemukan adanya model pengembangan desa-desa pesisir dengan rumusan empat strategi umum pengembangan. Paling tidak temuan ini menjadi bagian penting untuk dijadikan model dan konsep dasar dalam penentuan kebijakan pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1985. Data dan Informasi Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Ambon.
Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita, Jakarta. 159 halaman.
Rahmalia, E. 2003. Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. 130 halaman.
Stohr, W., 1975. Regional Development; Experiences and Prospects in Latin America. Vol : 3. United Nations Research Institute For Social Development. Geneva. 186 pp.

3 komentar:

Stg. IHAMAHU-Initiatives mengatakan...

James,
maaf, baru beta koment pada saat ini atas research penting tsb.

Melihat, point Abstract (iv)... pun point Penutup...'Paling tidak temuan ini menjadi bagian penting untuk dijadikan model dan konsep dasar dalam penentuan kebijakan pengembangan desa-desa pesisir di Provinsi Maluku'.

James, pertanyaanku...apa sejak research tsb. telah ada contoh2 program dengan model yang dimaksud untuk pengembangan masyarakat pesisir? Apa investasi2 yang dilakukan cukup meningkat level hidup masyarakat tsb. ?

So far so good, James!
Bae bae, JJS

JAMES ABRAHAMSZ mengatakan...

Bung Joop, Dangke banyak untuk comment-nya.

Hasil ini merupakan bagian dari studi komprehensif selama beta bersama teman-teman di LSM bekerja untuk masyarakat, mulai dari tahun 2001 sampai 2006.

Beberapa lokasi yang telah ada contoh-contohnya, antara lain:
1. Di Kecamatan Taniwel (seluruhnya), kami menamakan program itu: Membangun Taniwel Dari Laut. Hasilnya: Ekonomi masyarakat meningkat dan memiliki basis kegiatan ekonomi yang integratif.
2. Di Maluku Tenggara, nama programnya: Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Potensi Lokal. Hasilnya: terjadi income generating secara individual.
3. Ada beberapa lokasi lain, tapi kami tidak intensif.

Sampe di sini dulu Bung...
JA

Stg. IHAMAHU-Initiatives mengatakan...

James baik,
implementasi program tsb. di kecamatan Taniwel, di Malra maupun yang James sebut program di Tuhaha, menarik interes beta!
Kalo ada data/info dari program2 tsb. boleh dikirim, OK?

Bae bae,
JJS